Polemik mengenai tagihan royalti musik oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) kini merambah ke hotel syariah, termasuk Hotel Grand Madani di Kota Mataram. Hotel tersebut memutuskan untuk menghentikan sementara pemutaran lantunan Alquran (murotal) di area lobi setelah menerima tagihan royalti sebesar Rp 4,45 juta dari LMKN.
General Manager Hotel Grand Madani, Rega Fajar Firdaus, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kewajiban tersebut. Menurutnya, murotal yang diputar dari pagi hingga menjelang maghrib merupakan bagian dari identitas hotel syariah dan bukan musik komersial. “Untuk sementara kami hentikan dulu. Kami menunggu sikap resmi dari asosiasi hotel. Jika diputuskan untuk membayar, kami akan patuhi,” jelas Rega kepada Radar Lombok.
Tagihan dari LMKN mencakup semua bentuk audio di area publik hotel, termasuk musik, siaran televisi, dan suara alam. Grand Madani sendiri dikenai royalti Rp 4 juta per tahun, ditambah pajak 11 persen. “Sekarang hotel kami benar-benar hening. Tidak ada musik, tidak ada murotal. Televisi di kamar pun masuk hitungan LMKN,” tambah Rega.
Aturan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang mewajibkan pembayaran royalti atas penggunaan karya cipta di ruang publik. Asosiasi Hotel Mataram (AHM) akan menggelar rapat untuk menentukan sikap terkait hal ini. Rega juga menyebut bahwa banyak hotel menilai skema royalti oleh LMKN tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Di sisi lain, Sekretaris Komisi II DPRD Kota Mataram, H. Muhtar, mengemukakan bahwa kebijakan royalti ini perlu ditinjau ulang karena dianggap memberatkan pengusaha. Publik saat ini menunggu kejelasan apakah pemutaran murotal di ruang publik akan tetap dikenai royalti atau ada pengecualian khusus bagi hotel syariah.