Kebijakan Royalti Musik Pengaruhi Sektor Pariwisata Mataram

Kebijakan pembayaran royalti atas penggunaan lagu dan musik di ruang publik, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2021 dan Undang-Undang Hak Cipta, dinilai berdampak signifikan terhadap sektor pariwisata di Kota Mataram. Beberapa pelaku usaha di bidang perhotelan dan kuliner menyatakan keberatan, mengingat kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih setelah pandemi.

Kepala Dinas Pariwisata Kota Mataram, Cahya Samudra, menyatakan pihaknya memahami bahwa setiap karya cipta memiliki hak ekonomi yang harus dilindungi. Namun, ia menekankan bahwa penerapan aturan tersebut perlu mempertimbangkan kondisi riil di lapangan. “Kami berharap ada solusi terbaik agar pelaku usaha wisata dapat beroperasi normal tanpa terbebani kebijakan royalti yang berlaku umum. Tidak semua bentuk pemutaran musik seharusnya dikenakan tarif yang sama. Harus ada spesifikasi,” ujarnya pada Rabu (20/8/2025).

Dari sisi pelaku usaha, keberatan semakin dirasakan setelah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) mengirim surat tagihan kepada hotel-hotel di Mataram. General Manager Grand Madani Hotel sekaligus Bendahara Asosiasi Hotel Mataram (AHM), Rega Fajar Firdaus, menyatakan bahwa sekitar 30 hotel yang tergabung dalam asosiasi, hampir setengahnya telah menerima surat tagihan tersebut.

“Dengan kondisi ekonomi saat ini, terus terang saja berat. Pendapatan yang diperoleh tidak sebanding dengan pengeluaran, apalagi ditambah dengan pembayaran royalti musik,” katanya. AHM berencana menggelar rapat internal pada 21 Agustus ini untuk menentukan sikap resmi asosiasi. Hasil rapat tersebut akan dirangkum dan disampaikan sebagai masukan terhadap kebijakan ini. “Kita akan kumpulkan teman-teman, apakah keberatan atau tetap lanjut. Dari asosiasi akan kita jawab secara resmi,” pungkasnya.

Exit mobile version