Media Berita Mataram dan NTB

Tambora dalam Cerita Rakyat, Sastra, dan Cerita Horor

Letusan Gunung Tambora ternyata telah memberikan inspirasi yang melahirkan cerita-cerita rakyat (folklore) setempat dan cerita-cerita horror, seperti “vampire” dan “frankenstein” dalam sastra dunia.

Dalam versi Roorda van Eysinga (1841), cerita rakyat menyebut tentang seorang Arab, Said Idrus, yang mampir berniaga di Kerajaan Tambora. Ketika akan sholat di masjid, ia melihat seekor anjing masuk, sehingga ia menyuruh penjaga dan mengusirnya karena yang memasukkan anjing ke masjid itu kafir. Rupanya anjing itu kepunyaan raja. Karena ada yang melaporkan kepada raja dengan sebutan kafir, sang raja murka. Ia menyuruh tangkap dan sembelih anjing itu bersama-sama dengan seekor kambing. Said Idrus diundang dalam suatu perhelatan dan kepada Said Idrus disajikan makanan daging anjing, sedangkan tamu-tamu lain disajikan daging kambing. Ketika raja akhirnya memberitahukannya bahwa daging yang disantapnya itu daging anjing, dan menurut Said Idrus itu haram, keduanya berbantah. Raja semakin murka dan memerintahkan hamba-hambanya membunuh Said Idrus di puncak Tambora. Konon, karena itu, menurut kepercayaan rakyat, Allah SWT. menjadi murka dan sebagai hukuman kepada raja bersama rakyatnya meletuslah Gunung Tambora.

Versi lain cerita rakyat tentang Gunung Tambora, nama orang Arab itu bukan Said Idrus, melainkan Sekh Muhamad Saleh. Sekh itu datang ke Kerajaan Tambora untuk menyiarkan agama Islam (memang agak anakronis karena Tambora sudah lama memeluk Islam bersama kerajaan-kerajaan lainnya di Pulau Sumbawa). Selanjutnya, cerita hampir sama, sang Sekh disuguhi daging anjing oleh raja. Karena Sekh ikut marah, raja memerintahkan membunuh dan membakar mayatnya. Abunya dibuang di sebuah teluk yang sekarang memperoleh nama Teluk Saleh.

Selain dalam prosa, seorang penyair istana Kerajaan Bima, Khatib Lukman (1830-an), menulis tentang letusan Tambora dalam bentuk syair yang isinya antara lain tentang Kerajaan Tambora dan Kerajaan Pekat yang binasa bersama rakyat dan raja mereka masing-masing; Abdul Gafur dan Muhammad; tentang kemelaratan, kelaparan, dan penyakit tidak tertolong; banyak orang mati karena makan daun dan ubi beracun; orang mati tergeletak di jalan, tidak dikubur, tidak disembahyangkan; mayat menjadi mangsa burung, babi, dan anjing.

Ternyata dalam sastra dunis, cuaca yang disebabkan oleh letusan Tambora itu juga memberikan ilham:

During the snowy summer of 1816, the “Year Without Summer”, the world was locked in a long cold volcanic winter caused by the eruption of Tambora in 1815. In this terrible year, the then Mary Wollstonecraft Godwin, age 19, and her husband-to-be Percy Bysshe Shelly, visited Lord Byron at the villa Diodati by Lake Geneva in Switzerland. The weather was consistently too cold and dreary that summer to enjoy the outdoor vacation activities they had planned, so after reading Fantasmagoriana, an anthology of German ghost stories, Byron challenged the Shelleys and his personal physician John William Polidori to each compose a story of their own, the contest being won by whoever wrote the scariest tale. Many conceived an idea after she fell into a waking dream or nightmare during which she saw “the pale student of unhollowed arts kneeling beside the thing he had put together.” This was the germ of Frankenstein. Byron managed to write just a fragment based on the vampire legends he heard while travelling the Balkans, and from this Polidori created The Vampire (1819), the progenitor of the romantic vampire literary genre. Thus the Frankenstein and vampire themes were created from that single circumstance (the eruption of Tambora).

Dari kejadian sama itu juga Lord Byron mendapatkan inspirasi, kemudian menuliskannya dalam bentuk sajak berjudul Darkness.

Sumber: Memori Pulau Sumbawa – Helius Sjamsuddin

Foto: Lukisan William Turner

 

Exit mobile version