Sebelum ada pemberitaan-pemberitaan awal yang tertulis – menurut legenda atau mitos – semula di Pulau Sumbawa memerintah seorang raja yang berdiam di pedalaman pulau, yaitu Dompu. Raja ini membagi kerajaannya atas tiga bagian menurut jumlah putranya: Putra tertua tetap memerintah di Dompu, putra kedua memerintah di Bima, dan putra ketiga memerintah di Sumbawa. Tokoh mitos Sang Bima ini dianggap sebagai pendiri kerajaan dan dinasti raja-raja Bima serta memperkenalkan sistem politik berupa kerajaan di Pulau Sumbawa setelah menggantikan kedudukan pemimpin asli, primus inter pares, yang disebut Ncuhi. Mitos ini menunjukkan telah ada hubungan antara Jawa dan Sumbawa. Tidak diketahui kapan persis terjadinya pembagian kerajaan itu atas tiga bagian dan juga tidak diketahui kapan terbentuknya tiga kerajaan lain, yaitu Tambora, Papekat, dan Sanggar. Tiga yang terakhir ini jelas lebih muda. Ada anggapan bahwa pada masa-masa kemudian sesudah Dompu, Bima, dan Sumbawa terbentuk, ada orang-orang Sumbawa yang migrasi dan bermukim di Sanggar, orang-orang Manggarai datang dan menetap di Tambora, serta orang-orang Bima dan Dompu ada yang tinggal di Papekat.
Menurut N. J. Krom, gugusan kepulauan Sunda Kecil rupanya telah disebut-sebut oleh seorang ahli bumi, A. Claudius Ptolomaeus, dalam tulisannya Geographike Hyphegesis yang ditulis tahun 165 M. Diantaranya ada berita tentang “Maniolai”, barangkali yang dimaksudkannya adalah Tambora di Pulau Sumbawa. Tentu saja keterangan Krom ini masih bersifat hipotesis-spekulatif. Jika ini memang benar, ini adalah berita tertua tentang sebuah tempat di Pulau Sumbawa dan di sini tersirat bahwa Pulau Sumbawa telah berkomunikasi dengan dunia luar, atau setidak-tidaknya telah dikenal. Adalah suatu kenyataan bahwa Pulau Sumbawa merupakan salah satu mata rantai atau tumpuan berpijak (stepping stone) bagi orang-orang yang bepergian dari barat ke timur atau sebaliknya dalam gugusan Kepulauan Nusa Tenggara.
Kemudian, kalau kita berpegang kepada Carita Parahyangan, Pulau Sumbawa telah termasuk dalam pemberitaan tertulis yang relatif tua. Dalam Carita Parahyangan disebutkan tentang Sanjaya, putra Sena (atau Sanna dalam prasasti Canggal tahun 732) sebagai penakluk Bali, Bima, Malaya, dan Kemir (Khmer). Ini berarti bahwa nama Bima sudah ada pada abad ke-8. Akan tetapi, apakah benar sudah “setua” itu? Apakah epos Bharatayudha yang menyebut nama tokoh terkemuka kedua dalam Pandawa Lima ini sudah tersebar sampai ke Indonesia bagian timur? Di Bima dan Dompu memang dikenal “Hikayat Sang Bima” yang menyebut tokoh utama Bima dan adik-adiknya Sang (Ar) Juna, Sang (Na) Kula, dan Sang (Saha) Dewa. Nama-nama ini terdapat juga dalam deretan silsilah raja-raja Bima sejak masa-masa awal.
Selanjutnya, berita China tahun 1225 dari Chau-Ju-Kua yang menulis Chu-fan-chi. Disebutkan bahwa dalam daerah jajahan Cho-p’o atau Jawa (Kediri) antara lain terdapat nama “Takang” Rouffaer melokalisasi nama ini dengan Sumbawa, atau Flores, atau Sumba. Keterangan ini secara implisit menunjukkan adanya hubungan antara pulau-pulau itu.
Meskipun tidak diketahui tahun yang pasti, Gadjah Mada telah pernah mengucapkan janji untuk menaklukkan pulau-pulau lain seperti Gurun, Seran, Tanjungpura, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik. Dompo (Dompu) bukanlah nama sebuah pulau melainkan nama sebuah tempat atau kerajaan di Pulau Sumbawa bagian tengah. Rupanya Dompu ketika itu merupakan pars pro toto pulau yang dianggap cukup penting perannya untuk ditaklukkan. Ternyata tahun 1357, Majapahit mengirim ekspedisinya ke Dompu di bawah pimpinan Temenggung Nala. Demikianlah dalam syair (pupuh) ke-14 dari Nagarakertagama (1365) lalu disebut nama-nama tempat penting di Pulau Sumbawa yang telah menjadi bagian dari wilayah Majapahit seperti: “…Taliwang, Dompo (Dompu), Sapi (Sape), Sanghyang Api (Sangiang, Gunung Api), Bhima (Bima), Ceran (Serang, Setelok), Hutan (Utan)”. Janji Gadjah Mada yang kemudian diikuti ekspedisi Temenggung Nala rupanya telah memberikan kekuasaan nominal Majapahit atas Pulau Sumbawa.
Sumber: Memori Pulau Sumbawa – Helius Sjamsuddin