Pembahasan tentang karya sastra di Sumbawa seringkali dikaitkan dengan kehadiran Satera Jontal atau aksara Kaganga sebagai salah satu media perekamnya yang menurut Hijaz, dkk (2002) merupakan kelompok aksara yang tidak mendapat pengaruh aksara Sansekerta, seperti halnya aksara Hanacaraka yang dipakai di Jawa, Bali, dan Sunda. Kelompok aksara yang tidak mendapat pengaruh aksara Sansekerta ini lebih lanjut dijelaskan meliputi aksara Bugis-Makassar, Karo, Mandailing, Lampung, Rejang, dan Toba. Perbedaan kedua adalah kelompok aksara yang mendapat pengaruh aksara Sansekerta memiliki sandangan, sedangkan kelompok aksara yang tidak mendapat pengaruh aksara Sansekerta tidak memiliki sandangan.
Lalu Manca (1984) berpendapat bahwa pada umumnya daerah-daerah dalam kawasan Nusantara ini mengenal aksara daerah yang berasal dari aksara Hindu yang disebut aksara Pallawa. Dengan datangnya Agama Islam, ada sejumlah aksara daerah yang diubah sesuai dengan kebutuhannya karena terdesak oleh aksara Arab, seperti yang terjadi di Aceh dan Sumatera bagian timur, sedangkan di Jawa tetap bertahan setelah diubah menurut keperluannya, maka timbullah aksara Hanacaraka.
Sementara itu, Koentjaraningrat menulis bahwa huruf yang dipakai dalam naskah-naskah Bugis-Makassar kuno adalah aksara Lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari huruf Sansekerta, yang pada abad ke-16 M sistem aksara Lontara ini disederhanakan oleh syahbandar Kerajaan Gowa, bernama Daeng Pamatte.
Selanjutnya, dalam naskah-naskah sejak zaman itu, sistem Daeng Pamatte itu yang dipakai di wilayah Bugis-Makassar. Sejak permulaan abad ke-17 M, waktu agama Islam dan kesastraan Islam mulai memengaruhi Sulawesi Selatan, maka kesastraan Bugis-Makassar ditulis dalam huruf Arab yang disebut aksara Serang. Kata “serang” diduga berasal dari kara “seram” yang merujuk pada pengertian bahwa orang-orang Bugis dan Makassar dahulu telah banyak berhubungan dengan orang-orang Seram yang sudah lebih dahulu menerima Islam.
Secara etimologis, kata satera berasal dari bahasa Sansekerta “stra” yang berarti tulisan. P. J. Zoetmulder berpendapat bahwa kata “lontar” merupaka bentuk metatesis dari ron tar, yaitu daun pohon tar. Kata ini mungkin berasal dari Jawa. Di sisi lain, kata “tal” memang ditemukan dalam teks-teks Jawa Kuno paling awal sebagai nama sebatang pohon. Kadang-kadang hubungannya dengan getah yang dihasilkannya, atau dalam kiasan-kiasan dimana kata ini dipakai untuk melukiskan sesuatu yang besar sekali, seperti sebuah tongkat atau bajra yang digambarkan sebagai “sebesar batang pohon tal”.
Dalam Korawasrama, yaitu buku sakti yang dimiliki oleh Ganesa, sering disebut-sebut tentang gedong tal, yaitu merujuk pada makna daun tal, dan hanya satu kali saja disebut dengan kata lontar, kata-kata yang dipakai sekarang ini. Lebih lanjut, dalam kalimat-kalimat kitab Korawasrama tadi praktis menghapus keragu-raguan bahwa daun-daun palma yang dipakai sebagai bahan tulis di Jawa. Zoetmulder lebih jauh menulis bahwa orang-orang Bali dan Jawa menggunakan pengutik atau pengrupak, yaitu sebilah pisau besi kecil sebagai alat tulis yang dipakai dalam penulisan daun lontar tersebut.
Merujuk pada sejarah, Bangsa Indonesia baru mengenal tulisan pada abad ke-5 M, setelah bersentuhan dengan hadirnya kebudayaan Hindu-Buddha yang menandai berakhirnya kebudayaan Megalitikum bersama munculnya Kerajaan Kutai di Kalimantan dengan rajanya bernama Mulawarman. Mpu Prapanca, dalam kitab Negarakertagama, menjelaskan bahwa pada masa keemasan pemerintahan Majapahit, seluruh kerajaan di Sulawesi berada di bawah naungannya. Pada masa itu, bahasa Jawa dan kesastraan Jawa pada umumnya banyak menyerap bahasa Sansekerta dari kesastraan India yang diperkenalkan lewat kesastraan Hindu-Buddha.
Karya sastra Jawa yang banyak menyerap kosakata Sansekerta, seperti Kakawin, Sastra Parwa, Ramayana, Arjunawiwaha, Bhomataka, Negarakertagama, dan lain-lain. Pada kesastraan Jawa Kuno, penulisan karya-karya sastra biasanya menggunakan bahan-bahan tulis berupa tanah dan karas. Tanah yang dimaksud disini adalah sebuah alat untuk menulis, sedangkan karas merupakan bahan yang ditulisi, selain juga terdapat bahan lain berupa daun lontar.
Di Sumbawa, para sastrawan dahulu mengabadikan karya-karyanya menggunakan daun lontar yang telah dikuningkan dengan kunyit. Lebar daun tersebut sekitar 2 cm dengan panjang 12 cm. Cara menulisinya dengan menggores daun tersebut memakai ujung pangat, yaitu sejenis pisau. Masa sesudah pengaruh Islam masuk ke Indonesia, baru didapati sastra tulisan, ditulis dengan menggunkan aksara Arab sampai pada masa Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi sebagai masa peralihan untuk masuk ke dalam karya sastra yang ditulis dengan menggunakan huruf Latin. Hasil karya sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa daerah di seluruh wilayah Nusantara ini dinamakan sastra Nusantara, sedangkan yang ditulis dalam bahasa Indonesia sejak tahun 1928 dinamakan sastra Indonesia.
Aksara Lontara diperkirakan masuk ke Sumbawa ketika berakhirnya kekuasaan Kerajaan Hindu di Utan. Aksara ini kemudian diadaptasikan dengan kondisi lingkungan Sumbawa, dan kemudian dikenal dengan nama Satera Jontal atau aksara Kaganga. Pengaruh aksara Lontara dalam aksara Kaganga ini dapat dilihat dari bentuk dan cara mengejanya yang sama seperti cara mengeja aksara Lontara dari sumber asalnya, yaitu Makassar. Sastra memiliki hubungan yang begitu rapat dengan bahasa karena sastra baru ada setelah hadirnya bahasa sebagai medianya. Bahasa ini diwujudkan dalam lambang-lambang atau simbol-simbol kebahasaan yang dinamakan huruf atau aksara.
Sumber: Pilar-Pilar Budaya Sumbawa, Wahyu Sunan Kalimati