Oleh: Bambang Parmadi
Sumber: Besiru.com
Masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Lombok khususnya baru saja kehilangan satu tokoh terbaiknya. Tokoh yang tidak hanya dikenal sebagai pemimpin formal di pemerintahan, tetapi juga dikenal tokoh informal pada hampir semua bidang kemasyarakatan, dan keberadaannya sangat diterima baik oleh semua kalangan. Sosok itu adalah Drs.H.L.Mudjitahid, mantan walikota pertama Kota Mataram saat masih berstatus sebagai kota administratif pada tahun 1978 – 1984 dan tahun 1984 – 1989, dan juga Bupati Lombok Barat pada periode tahun 1989 – 1994 dan tahun 1994 – 1999, yang telah meninggal dunia pada Hari Sabtu tanggal 1 Agustus 2020 yang baru lalu . Selepas mengakhiri tugas pada jabatan pemerintahan beliau berkiprah secara langsung dalam banyak kegiatan kemasyarakatan dengan menjadi bagian dari berbagai organisasi dan lembaga, baik yang bersifat sosial budaya, keagamaan, pendidikan dan maupun ekonomi. Sehingga hampir semua kalangan mengenalnya dengan baik.
Keaktifan beliau pada berbagai kegiatan kemasyarakatan tersebut bukanlah didorong oleh kepentingan ataupun ambisi pribadi untuk tetap eksis dan dipandang sebagai tokoh, akan tetapi betul – betul merupakan perwujudan dari rasa tanggung jawab sosial dan keterpanggilan untuk selalu berkontribusi bagi kemajuan daerah dan masyarakat yang dia rasakan masih harus terus diperjuangkan. Bukan sekedar tanggung jawab moral, bahkan sosok yang akrab dengan sapaan Mamiq Mudji ini menganggapnya sebagai hutang yang harus dibayar. Karenanya berbagai aktifitas dan kontribusi sosial itu terus dilakoni hingga menjelang saat tutup usianya.
Tulisan ini akan coba mengungkap sedikit pengalaman dan kesan penulis ketika mendapat kesempatan untuk membantu dan membersamai langkah – langkah sosok yang sangat inspiratif ini dalam gerakannya memperjuangkan ekonomi rakyat. Tepatnya saat beliau mengemban amanah sebagai Ketua Dewan Koperasi Indonesia Wilayah (DEKOPINWIL) Nusa Tenggara Barat pada sekitar pertengahan tahun 2003 hingga tahun 2009. Diawali ketika seorang teman yang cukup lama tidak ketemu tiba – tiba datang ke rumah penulis menyampaikan informasi bahwa Mamiq Mudji meminta kesediaan penulis untuk menjadi Sekretaris Dekopinwil NTB. Sebuah tawaran yang sangat mengejutkan, karena walaupun cukup mengenal tapi belum pernah terjalin interaksi yang cukup intens sebelumnya. Bahwa ternyata tokoh sekaliber Mamiq Mudji mengingat dan mengamati aktifitas penulis, sungguh menjadi kejutan yang membanggakan. Tanpa berpikir panjang langsung saya menyanggupi tawaran tersebut, dan sejak itu terjalinlah kedekatan yang berlangsung hingga akhir hayat beliau.
Dekopin adalah wadah tunggal tempat berhimpunnya gerakan koperasi seluruh Indonesia, dan berkat kerja keras para pengurus sebelumnya, Dekopinwil NTB memiliki gedung yang cukup megah sebagai kantor dan pusat kegiatannya. Pada struktur organisasi Dekopin(wil) sekretaris tidak termasuk dalam jajaran pengurus, tetapi merupakan jabatan eksekutif atau bisa disebut sebagai pegawai. Sehingga pada kondisi normal atau pada beberapa daerah lain yang Dekopinwil-nya “cukup kaya”, bersama karyawan yang lain sekretaris mendapatkan gaji sebagai kompensasi kerjanya. Tetapi tahun 2003 ketika penulis mulai menjadi sekretaris lembaga ini tidak memiliki anggaran dana sama sekali. Dari kantong pribadi Mamiq Mudji dan beberapa pengurus yang lainlah didapatkan biaya operasionalnya, termasuk untuk sekedar “uang transport” bagi penulis. Bahkan selama beberapa bulan penulis sempat menjalani aktifitas berkantor pada bangunan yang megah tersebut tanpa aliran listrik. Hingga untuk mengimbangi keikhlasan beliau yang selalu menggunakan dana pribadi dalam aktifitasnya sebagai ketua, penulis pun rela untuk beberapa bulan “kerja bakti” sepenuhnya demi untuk bisa menghidupkan listrik di kantor. Baru pada tahun 2005, berkat lobby – lobby beliau Dekopinwil NTB memperoleh bantuan dana dari Pemerintah Propinsi NTB sehingga kebutuhan – kebutuhan operasional kantor bisa terpenuhi.
Dalam kondisi yang penuh keterbatasan seperti itu kita bisa lihat bagaimana seorang pemimpin sejati bisa tetap berkiprah menunjukkan kemampuan, kesungguhan, dan pengorbanannya. Tidak banyak orang yang bisa melakukannya, dan Mamiq Mudji adalah salah satu dari sedikit orang seperti itu. Bahkan yang akan penulis ceritakan di bawah ini adalah betul – betul sebuah pengorbanan yang tidak hanya waktu, tenaga, dan pemikiran, tapi juga pengorbanan finansial.
Suatu hari datang di Kantor Dekopinwil NTB beberapa orang pengurus sebuah koperasi nelayan dari Tanjung Luar, Lombok Timur. Menurut penjelasan mereka koperasi ini beranggotakan sekitar 40 orang nelayan (jumlah tepatnya penulis tidak ingat) yang tinggal di pesisir pantai berdekatan dengan dengan Pusat Pelelangan Ikan di sana. Mereka bukanlah nelayan seperti di pantai – pantai Ampenan, Batulayar atau daerah – daerah lain yang biasa berangkat berlayar sore hari dan pulang keesokan harinya. Mereka biasa berlayar berhari – hari bahkan berminggu – minggu, menetap sementara di pulau atau di pantai daerah lain dan baru pulang beberapa waktu kemudian, bisa satu atau dua bulan. Saat itu mereka membutuhkan tambahan biaya yang cukup besar untuk pelayaran yang akan dijalankan ke suatu kawasan di wilayah Nusa Tenggara Timur, dengan rencana waktu sekitar satu bulan, dan tidak hanya sekali. Dalam satu tahun direncanakan bisa tiga atau empat kali sesuai dengan musim dan pergerakan ikan yang ada. Setelah melalui beberapa kali pertemuan termasuk kunjungan langsung ke Tanjung Luar, Mamiq Mudji setuju untuk mengupayakan pinjaman dari BPRS Patuh Beramal di mana beliau adalah komisaris utamanya. Sebuah pinjaman tanpa agunan karena pribadi Mamiq Mudji lah yang menjadi penjaminnya. Akhirnya pada suatu pagi di depan kantor koperasi nelayan tersebut di pesisir pantai Tanjung Luar diadakanlah satu upacara kecil penyerahan bantuan pinjaman sekaligus pelepasan untuk sebuah pelayaran yang akan mulai berlangsung pada sore / malam harinya. Terdapat sekitar 20 (dua puluh) orang nelayan yang akan berangkat dengan bekal biaya dari pinjaman BPRS Patuh Beramal tersebut. Untuk beberapa hari berikutnya akan berangkat dua puluh orang nelayan lagi sebagai kelompok pelayaran gelombang kedua. Singkat cerita, sekitar dua bulan kemudian laporan yang diterima adalah Informasi tentang kegagalan. Dengan tambahan cerita seperti cuaca yang kurang mendukung, kapal yang mengalami kerusakan, beberapa orang nelayan yang ternyata tidak betah dan berbagai cerita lainnya, pada intinya adalah “proyek” pelayaran tersebut tidak berhasil sebagaimana yang diharapkan, dan pinjaman dana yang sudah mereka terima belum bisa diangsur dan dikembalikan. Penulis tidak ingat pasti dari pinjaman yang hampir sejumlah tiga ratus juta itu berapa yang berhasil dikembalikan, tapi yang pasti tidak sampai tiga puluh persen, dan kredit macet yang menjadi kerugian bank tersebut akhirnya menjadi beban pribadi Mamiq Mudji.
Cerita berikutnya adalah tentang jagung. Kalau beberapa tahun belakangan ini kita ikuti informasi bagaimana jagung menjadi sumber pendapatan baru yang cukup spektakuler bagi banyak petani khususnya di Kabupaten Dompu, juga beberapa desa di Kabupaten Bima dan Sumbawa, di mana sebelumnya didahului dengan ditetapkannya program unggulan PIJAR (Sapi, jagung dan rumput laut) Pemerintah Propinsi NTB di bawah kepemimpinan TGH DR M. Zainul Majdi, semua itu tidak bisa dilepaskan dari peran kepeloporan Mamiq Mudji sebelumnya. Tepatnya pada tahun 2004 ketika tiba – tiba melejit nama Propinsi Gorontalo sebagai penghasil utama jagung di tanah air, bersama dengan Almarhum Adi Sasono yang merupakan sahabat lamanya beliau berinisiatif untuk menjadikan NTB sebagai daerah penghasil jagung, karena berdasarkan data luas lahan, iklim dan sebagainya mestinya NTB justru lebih baik dari Gorontalo. Bekerjasama dengan beberapa Koperasi Unit Desa (KUD) dan beberapa kelompok tani yang ada di beberapa desa di Lombok, Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Dompu dijalankanlah program budi daya jagung secara massal. Bersama dengan team yang dibentuk, yang terdiri dari beberapa orang pengurus Dekopinwil NTB, beberapa orang pengusaha dan juga tenaga ahli dari kampus Universitas Mataram, berkelilinglah Mamiq Mudji ke berbagai desa, dari kabupaten Lombok Barat hingga Dompu, untuk menjalankan program ini. Bahkan kemudian beliau didaulat sebagai Ketua Masyarakat Agribisnis Jagung (MAJ) Propinsi NTB yang menjadi bagian dan mitra strategis dari Dewan Jagung Nasional.
Tetapi sama seperti cerita tentang bantuan modal bagi kelompok nelayan sebelumnya, bukan cerita manis yang didapatkan dari program jagung ini. Beberapa milyar rupiah dana pinjaman yang digulirkan kepada para petani, akhirnya pun tidak sampai setengah yang bisa kembali. Yang didapatkan adalah cerita tentang gagal panen, gangguan hama, hasil panen yang tidak sesuai gambaran awal, dan sebagainya. Di samping kondisi yang agak memprihatinkan yaitu sikap beberapa petani yang tidak bisa menjadi mitra kerja yang amanah. Sehingga dalam berbagai kesempatan setelah itu, seringkali Mamiq Mudji mengungkapkan pentingnya keterlibatan para tokoh agama dalam kerja pendampingan, pembinaan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Tidak sedikit kerugian financial yang timbul dari pelaksanaan program ini. Menurut H. Abu Bakar Uqi, salah satu pengusaha yang terlibat sebagaimana penuturannya dalam buku Biografi Mamiq Mudji berjudul “Drs H. Mudjitahid Pemimpin Populis” yang disusun oleh Hermansyah Pany, total kerugian itu hampir sebesar lima milyar rupiah. Bahkan dalam buku tersebut cerita tentang jagung ini diungkap dalam salah satu bagian dengan judul yang agak dramatis, “Petaka di Bisnis Jagung.”
Hingga ketika pada akhir tahun 2005 Adi Sasono terpilih menjadi Ketua Umum Dekopin Pusat, untuk beberapa waktu Mamiq Mudji menghindar dari pertemuan langsung dengan Pak Adi. Ada rasa sungkan dan sedikit “tidak enak” atas kegagalan program jagung yang dijalankan di NTB, khususnya pada aspek kerugian finansial. Tetapi sebagaimana kata pepatah bahwa besi akan selalu ketemu besi dan air akan bertemu air, begitulah yang terjadi antara Mamiq Mudji dengan Pak Adi Sasono. Sebagaimana keikhlasan Mamiq Mudji, seperti itu pulalah keikhlasan seorang Adi Sasono. Ketika akhirnya keduanya bertemu, tanpa beban dan seperti tidak pernah mengalami kerugian apa – apa Pak Adi berujar “ Tidak apa – apa Pak Mudji. Anggap saja itu ongkos belajar.” Dana milyaran rupiah melayang, untuk sebuah ongkos belajar.
Sebagai sebuah program, apalagi kalau dilihat dalam konteks bisnis, memang budi daya jagung yang di-inisiasi Mamiq Mudji itu telah gagal. Tetapi sebagai sebuah kampanye program itu cukup berhasil. Tidak lama setelah itu Pemerintah Propinsi NTB pada tahun – tahun terakhir periode kepemimpinan Gubernur Drs.H.L. Srinata mencanangkan Program Sejuta Ton Jagung. Kemudian dilanjutkan oleh oleh Gubernur berikutnya yakni TGH.DR.H. M. Zainul Majdi dengan program unggulan PIJAR (Sapi, Jagung dan Rumput Laut), dan akhirnya masyarakat petani terutama di Kabupaten Dompu yang memetik manfaat dari hasil kampanye penuh perjuangan Mamiq Mudji dan kawan – kawan.
Bagi orang kebanyakan, kerugian financial yang tidak sedikit tentu akan berpengaruh pada langkah aktifitas selanjutnya. Bisa menghentikan sama sekali keterlibatannya, atau paling tidak memutuskan untuk berpindah pada kesibukan yang lain. Hal yang demikian ternyata tidak berlaku bagi Mamiq Mudjitahid. Kepedulian dan hasrat untuk berkontribusi pada pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak berkurang sedikitpun. Di mana pun ada peluang untuk berkontribusi tidak ada alasan baginya untuk menghindar. Termasuk ketika salah satu koleganya di Dekopin mengajaknya untuk terlibat dalam urusan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri sekitar dua tahun setelah urusan jagung di atas selesai, dengan antusias ajakan tersebut pun disambutnya.
Sebagaimana kita tahu, NTB merupakan salah satu daerah pemasok terbesar tenaga kerja ke luar negeri (TKI). Salah satu problem yang dihadapi adalah tenaga kerja yang berangkat ke luar negeri tersebut sebagian besar, bahkan hampir semuanya, adalah tenaga kerja tidak terampil (unskill labour). Karenanya kesempatan kerja yang terbuka pun kesempatan kerja pada level yang “rendah” seperti pekerjaan di perkebunan dan asisten rumah tangga, atau yang sedikit lebih tinggi seperti tukang batu dan sopir. Sehingga ajakan keterlibatan itu menarik bagi Mamiq Mudji ketika disebutkan bahwa ternyata banyak peluang untuk tenaga kerja terampil atau terdidik yang sebetulnya juga terbuka lebar. Dengan harapan bahwa pengiriman tenaga kerja terampil atau terdidik itu akan sedikit meningkatkan “derajat” TKI dari NTB.
Sama seperti ketika menggerakkan budidaya jagung, sejak itu mulailah kembali aktifitas beliau dengan berkeliling untuk bertemu dengan berbagai pihak yang berhubungan dengan urusan ketenagakerjaan. Pertemuan dengan Gubernur, Bupati / Walikota dan juga para Kepala Dinas yang terkait untuk memaparkan gagasan dan rencana tersebut beliau lakukan. Dilanjutkan dengan menemui dan berdiskusi dengan kepala sekolah – sekolah kejuruan, pimpinan perguruan tinggi yang memiliki program studi ketrampilan kerja, pimpinan dan pengelola lembaga – lembaga pelatihan, sampai bertemu dengan kepala – kepala desa yang warganya banyak menjadi TKI pun dijalani. Pada kesempatan inilah penulis membuktikan apa yang sering penulis dengar dari para pegawai yang pernah membantu beliau saat menjabat sebagai walikota maupun bupati, kalau sudah berurusan dengan kepentingan orang banyak seperti ini sungguh beliau tidak mengenal kata lelah. Pagi rapat sampai siang, istirahat untuk makan siang kemudian dilanjutkan perjalanan untuk ketemu dengan kepala desa yang untuk menuju desanya butuh waktu perjalanan satu sampai dua jam dari Mataram. Tiba kembali di Mataram selepas waktu Isya, dan di atas kendaraan pada perjalanan pulang sudah diisi dengan diskusi untuk agenda hari berikutnya. Sungguh malu rasanya kalau sebagai anak muda yang mendampinginya mengeluh capai atau lelah di depan beliau yang selalu bersemangat.
Berbagai upaya pun dilakukan guna memenuhi harapan untuk bisa mengirim dan memberangkatkan TKI yang lebih terampil. Di antaranya adalah mendorong Balai Latihan Kerja (BLK) Mataram meningkatkan kualias pelatihan dengan mengirimkan tenaga pelatihnya untuk belajar ke luar negeri, dan juga secara langsung mengadakan pelatihan keterampilan bagi para calon TKI. Penulis ingat yang sempat dilaksanakan adalah pelatihan pengelasan. Bukan untuk mejadi tukang las teralis, pagar rumah atau tukang las mobil, tapi yang dipersiapkan adalah tenaga pengelasan untuk industri besar seperti pabrik kapal, pabrik pesawat, atau untuk pengelasan pipa di dasar laut. Untuk itu pelatihnya pun tenaga ahli yang didatangkan dari kawasan industri besar yang ada di luar NTB seperti dari Jakarta, Surabaya, dan Batam.
Tetapi ternyata pada akhirnya terulanglah kembali kejadian yang sama seperti ketika menggerakkan budi daya jagung ataupun membantu para nelayan, walaupun tidak sama persis. Kalau pada kasus budi daya jagung dan nelayan sumber masalah berasal dari masyarakat yang dibantu, pada kasus TKI ini masalah bersumber dari mitra kerja yang ternyata tidak amanah. Dibukalah rekrutmen untuk calon TKI yang menurut infonya akan dipekerjakan pada perkebunan dan pertanian modern di Kanada. Tidak sedikit yang mendaftar dan membayar biaya sesuai yang ditentukan. Ternyata peluang tersebut hanyalah omong kosong, dan setelah terkumpul uang yang tidak sedikit, mitra kerja itu pun menghilang dengan membawa uang hampir sebesar satu setengah milyar rupiah dari pendaftaran para calon TKI yang telah terhimpun. Tentu saja ini kembali menjadi beban yang mesti diselesaikan oleh Mamiq Mudji.
Tetapi sekali lagi sungguh penulis lihat saat itu ketangguhan dan kebesaran jiwa seorang pemimpin sejati pada sosok ini. Pelan – pelan beban itu diselesaikannya semua, dan masalah – masalah itu tetap tidak menyurutkan semangatnya untuk kembali terlibat dan berkontribusi pada upaya memajukan masyarakat khususnya pada bidang ekonomi. Sampai tiba saatnya tutup usia, beliau masih tercatat sebagai salah satu Wakil Ketua Pengurus Dewan Masjid Indonesia (DMI) Wilayah Propinsi NTB, dan konsentrasi beliau pada lembaga ini adalah mendorong terwujudnya fungsi masjid sebagai pusat pengembangan ekonomi ummat, antara lain dengan pendirian koperasi jamaah masjid. Beberapa kali penulis dipanggil untuk diajak diskusi terkait gagasan ini, dan menurut penuturan beliau Pengurus DMI pernah mengajak sepuluh takmir masjid yang ada di Mataram melakukan studi banding ke beberapa masjid di luar daerah yang terkenal dengan keramaian aktifitas jamaahnya termasuk aktifitas ekonomi, seperti Masjid Jogokaryan di Jogjakarta dan Masjid Al Falah di Surabaya. Tetapi penulis tidak punya cukup informasi, dari kesepuluh takmir masjid tersebut berapa yang sudah mengaplikasikan hasil studi bandingnya.
Sekitar dua bulan menjelang saat tutup usia, Mamiq Mudji kembali menghubungi penulis. Beliau diminta oleh pemegang waqaf Masjid Raya Attaqwa Mataram untuk membantu pengelolaan masjid tersebut setelah berbagai aktifitas keagamaannya dipindah ke Islamic Centre dan masjid itu menjadi tidak terurus. Saat ini kepengurusan baru masjid yang cukup bersejarah di Kota Mataram itu telah tersusun kembali, penulis bersama putra beliau Mas Anas Amrullah bergabung dalam kepengurusannya, dan sebagai seorang hamba Mamiq Mudji pun dipanggil pulang oleh Yang Maha Kuasa, mengakhiri semua pengabdian dan perjuangannya di dunia.
Seperti bunyi semboyan salah satu instansi pemerintah pada era orde baru, “Dian yang Tak Kunjung Padam”, seperti itulah gambaran pribadi yang dapat kita lihat pada sosok seorang H.L.Mudjitahid. Dian itu bukanlah sumbu kompor atau lampu minyak, melainkan sebatang lilin, yang tetap menjadi penerang walau nyalanya “melelehkan” tubuhnya. Hari ini dan hari – hari ke depan setelah kepergiannya ingatan orang pada sosoknya tidak akan hilang. Seperti ungkapan para tentara, “The Old Soldier Never Die. He Just Fade Away”. Prajurit tua tidak pernah mati, dia hanya menghilang, dan orang banyak tetap mengenang kebaikannya, mengenang pengabdiannya, pengorbanan dan perjuangannya.