Saya pernah berada di zaman ketika punya disket (Floppy Disk) itu benar-benar keren. Ketika itu, zaman saya SMP (Sekolah Menengah Pertama), sekitar tahun 2000-an, saya pernah ketemu dengan angka-angka 128 kB, 256 kb, 500 kB, 1.44 MB, 2.88 MB. Senengnya minta ampun bisa menyimpan data dengan ukuran segitu. Anak SMP ketika itu memangnya mau menyimpan data apa? Foto-foto selfie? Meme nyinyir? Video tik tok? Belum masanya waktu itu.
Anak-anak gaul zaman sekarang, satu foto selfie-nya yang senyum saja mungkin butuh satu disket untuk penyimpannya. Untuk foto selfie dengan pose monyong butuh satu disket lagi. Namun, zaman sudah berubah, kebutuhan pun berubah dan semakin berbeda serta meningkat, khususnya terkait data storage. Tidak bisa disamakan lagi. Perangkat penyimpanan data pun sudah macam-macam, kapasitas penyimpanannya pun bervariasi. Ada Memory Card, USB Flash Drive, External Hard Disk, Cloud Storage, dll.
Teknologi penyimpanan data sudah begitu canggihnya saat ini, walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa kita masih lebih banyak bertindak sebagai konsumen daripada produsen. But, it’s oke. Memang baru bisa di tahap itu saat ini. Pelan-pelan mungkin kita bisa bukan hanya menjadi konsumen.
Di dalam diri kita juga ada RUANG yang bisa digunakan sebagai tempat singgahnya rasa. Ruang ini tidak bersifat imajinatif, jadi tidak perlu menggunakan visualisasi untuk menyadari keberadaannya. Ketika ada rasa tertentu melintas di dalam batin, amati saja. Amati juga guide-nya (pikiran). Biarkan singgah, kalau memang rasa itu ingin singgah. Biarkan pergi, kalau memang sudah saatnya pergi.
Ruang itu tidak punya batas seperti ruang penyimpanan file atau folder. Selalu terbuka, tidak ada pintunya. Rasa apapun yang melintas diterima, tidak ditolak. Rasa sedih, it’s oke, diterima. Rasa marah, it’s oke, diterima. Rasa kecewa, it’s oke, diterima. Rasa bersalah, it’s oke, diterima. Rasa takut, it’s oke, diterima. Seperti langit yang tidak berkomentar apa-apa terhadap awan-awan yang melintas, entah itu awan putih atau awan hitam. Langit pun tidak berkelahi dengan awan-awan, hanya terbentang dan menyediakan dirinya sebagai ruang bagi awan-awan melintas.
Tanpa ruang yang begitu luas itu, tidak ada pikiran dan perasaan yang bisa melintas. Pikiran muncul, melintas, kemudian pergi. Perasaan atau emosi tertentu datang, melintas, kemudian pergi. Tidak ada satupun pikiran-perasaan yang abadi. Sekalipun melintas cukup lama, pasti nanti pergi. Dan semua itu bisa terjadi karena ada ruang yang selalu menerima, yang tidak pernah menghakimi pikiran-perasaan apapun. Yang tidak menggenggam pikiran-perasaan apapun. Yang tidak menendang pikiran-perasaan apapun. Yang tidak pernah menyebut pikiran ini baik atau positif dan pikiran yang lain buruk/negatif. Tidak pernah menilai bahwa rasa marah lebih buruk daripada rasa syukur. Semuanya diterima di ruang yang tanpa syarat dan tanpa batasan kapasitas itu.
Kita hanya perlu menyadari keberadaan ruang ini di dalam diri. Tidak terlalu menaruh perhatian pada pikiran-perasaan yang melintas, namun menyadari ketidaklanggengannya. Istirahatkan perhatian bukan pada konten dari pikiran, bukan pada konten dari perasaan, tapi pada ruang yang menyelimuti semuanya. Kalaupun terseret oleh pikiran-perasaan yang begitu kuat dan intens, tidak apa-apa, kembali sadari napas masuk dan napas keluar. Kembali sadari momen kini. Kembali sadari ruang yang selalu hadir di saat ini, tidak punya awal, tidak punya akhir, tidak ada ujungnya, tidak ada batasnya.