counter hit make

Pinjaman Online dalam Perspektif Fikih

PERKEMBANGAN zaman dan teknologi semakin pesat yang mengakibatkan segala interaksi sosial ekonomi masyarakat semakin maju dan dapat membuat perubahan kegiatan dalam berbagai bidang. Termasuk maraknya bermunculan pinjaman online ilegal.

            Saat ini pemerintah sedang menertibkan jasa-jasa pinjaman online ilegal yang marak bermunculkan dan meresahkan masyarakat, karena bunga dan denda yang selangit dari pinjaman online yang ilegal tersebut. Lantas apakah perbedaan pinjaman online yang legal dan ilegal, berdasarkan laman resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Pertama, Regulator/Pengawas. Pinjol ilegal tidak ada regulator khusus yang bertugas mengawasi kegiatannya. Sedangkan yang legal, atau terdaftar di OJK berada dalam pengawasan lembaga tersebut, sehingga sangat memperhatikan aspek pelindungan konsumen.

Kedua, bunga dan denda pinjol ilegal mengenakan bunga dan denda yang sangat besar dan tidak transparan. Sedangkan pinjol legal diwajibkan memberikan informasi mengenai bunga dan denda maksimal yang dikenakan ke pengguna. AFPI mengatur biaya pinjaman maksimal 0,8 persen per hari dan total seluruh biaya termasuk denda adalah 100 persen dari nilai pokok pinjaman.

Pinjaman online yang sering disebut juga dengan Peer to peer Lending (P2P) diselenggarakan oleh penyedia sarana layanan pinjam-meminjam yang berbasis teknologi. Hadirnya Finansial Teknologi (Fintek) P2P telah menggantikan bank yang saat ini sebagai tempat orang meminjam dan menabung uang.

Namun demikian, sarana modern yang memberikan kemudahan untuk melakukan transaksi pinjaman online pada praktiknya menyisakan banyak problem di masyarakat. Mulai dari praktik ribawi seperti bunga pinjaman yang mencekik, ancaman fisik bagi peminjam yang tidak bisa bayar hutang, acaman penyebaran rahasia pribadi kepada publik melalui sosial sosial media dan lain sebagainya. Sehingga dampak dari pinjol yang banyak dimuat oleh media adalah kasus bunuh diri, stres karena diteror oleh pihak pinjol dan keretakan hubungan rumah tangga.

Pinjaman Online di tengah era digital menjadi tren di masyarakat kekinian. Kemudahan di dalam meminjam uang, hanya bermodalkan foto dengan KTP, membuat banyak orang terlibat tergiur hingga terjerat ke dalamnya. Lalu bagaimana tinjauan fikih terhadap fenomena pinjaman online tersebut?.

Dikutip dari buku Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Erwandi Tarmizi, berdasarkan mekanisme umum cara kerja pinjaman online dapat disimpulkan sebagai suatu transaksi pemberian pinjaman individu kepada individu lain dengan media teknologi. Sarana teknologi hanya sebagai media pertemuan antara pemberi pinjaman dengan peminjam.

Dari gambaran cara kerja transaksi P2P Lending akad yang digunakan adalah akad Qardh (pinjam-meminjam uang) yang disertai dengan pertambahan bunga dan denda keterlambatan. Ini merupakan bentuk riba jahiliyyah dengan sarana teknologi daring. Dalam kaidah fikih dinyatakan, “Setiap pinjaman yang memberikan keuntungan bagi pemberi pinjaman adalah riba” (Al Mawardi, Al Hawi).

Sedangkan MUI memberikan penjelasan dengan membolehkan pinjol. Pembolehan pada pinjol didasari teori dalam kitab Al-Ma’ayir As-Syar’iyah An-Nasshul Kamil lil Ma’ayiri As-Syar’iyah. Teori menyatakan, serah terima secara hukmiy (legal-formal/non-fisik) dianggap telah terjadi baik secara i’tibâran (adat) maupun secara hukman (syariah). “Serah terima dilakukan dengan cara takhliyah (pelepasan hak kepemilikan) dan kewenangan untuk tasharruf (mengelola). Serah terima dianggap sudah terjadi dan sah, meski belum terjadi secara hissan (fisik ). tulis Abdul Muiz dalam laman resmi MUI.

Dalam kajian Fikih lain menjelaskan, yang dipertimbangkan dalam akad piutang adalah substansinya. Kegiatan jual beli melalui telepon dan media online lainnya menjadi salah satu pilihan, berikut haditsnya, “Yang dipertimbangkan dalam akad-akad adalah subtansinya bukan bentuk lafadznya, dan jual beli via telpon, telegram dan sejenisnya telah menjadi alternatif yang utama dan dipraktekkan.” (Syaikh Ahmad bin Umar Asy-Syathiri, Syarh al-Yaqut an-Nafiis, II/22)

Namun pembolehan ini harus memenuhi tiga unsur; Pertama, Tidak menggunakan riba (rentenir). Dalam Islam riba artinya sebuah penambahan nilai atau bunga melebihi jumlah pinjaman saat dikembalikan dengan nilai tertentu yang diambil dari jumlah pokok pinjaman untuk dibayarkan oleh peminjam.

Secara eksplisit, Allah SWT melarang umat-Nya untuk melakukan riba dalam QS. Al Baqarah ayat 275 : “wa aallallāhul-bai’a wa arramar-ribā” Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Kedua, Jangan menunda untuk membayar utang. Konteks menunda di sini artinya ketika pemilik hutang sudah mampu membayar, namun menunda untuk melakukan pembayaran. Hal ini hukumnya adalah haram. Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW bersabda, “layyal waajidi yuhillu ‘irdahu wa ‘uqubatahu”. Artinya: “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.” (HR Nasa’i).

Ketiga, Memaafkan orang yang tidak mampu membayar utang. Ada suatu kondisi pemilik hutang tidak mampu untuk melunasi utang, maka memaafkan hutang tersebut bagi peminjam adalah hal yang mulia dalam ajaran Islam. Hal tersebut dibuktikan dalam firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 280, “wainkana dzu ‘usratin fanaziratun ila maisarah wa ‘an tashaddaquu khairun lakum in kuntum ta’lamuun”  Artinya: “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

Hukum pinjol tidak terlepas dari perbedaan para ulama terkait bunga pinjaman, apakah termasuk riba atau bukan?. Terkait dengan hal ini, para ulama sepakat bahwa riba hukumnya haram, akan tetapi para ulama berbeda pandangan terkait apakah bunga pinjaman atau secara umum sering disebut bunga bank termasuk riba?.

Para ulama kontemporer berbeda pendapat terkait hal ini. Pertama, sebagian ulama, seperti Yusuf Qaradhawi, Mutawalli Sya’rawi, Abu Zahrah, dan Muhammad al-Ghazali, menyatakan bahwa bunga bank hukumnya haram, karena termasuk riba. Pendapat ini juga merupakan pendapat forum ulama Islam, meliputi: Majma’ al-Fiqh al-Islamy, Majma’ Fiqh Rabithah al-‘Alam al-Islamy, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Alasan mereka firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 275 di atas tentang pengharaman riba.

Kedua, sebagian ulama kontemporer lainnya, seperti Syekh Ali Jum’ah, Muhammad Abduh, Muhammad Sayyid Thanthawi, Abdul Wahab Khalaf, dan Mahmud Syaltut, menegaskan bahwa bunga bank hukumnya boleh dan tidak termasuk riba. Pendapat ini sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah tanggal 23 Ramadhan 1423 H, bertepatan tanggal 28 November 2002 M.

Mereka berpegangan pada firman Allah SWT Surat an-Nisa’ ayat 29: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.”

Pada ayat di atas, Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara yang batil, seperti mencuri, menggasab, dan dengan cara riba. Sebaliknya, Allah menghalalkan hal itu jika dilakukan dengan perniagaan yang berjalan dengan saling ridha. Karenanya, keridhaan kedua belah pihak yang bertransaksi untuk menentukan besaran keuntungan di awal, sebagaimana yang terjadi di bank, dibenarkan dalam Islam.

Maka, hukum pinjol dalam perspektif fikih dapat disesuaikan dengan apakah bunga bank atau tambahan pinjaman termasuk riba atau tidak, jika cenderung kepada pendapat yang mengharamkan bunga bank maka pinjol hukumnya haram. Namun jika sepakat dengan pendapat bunga bank bukan termasuk riba yang diharamkan,  maka pinjol dibolehkan.

Penulis lebih cenderung mengharamkan pinjol ilegal karena tidak adanya perlindungan konsumen, bunga dan denda yang sangat besar serta tidak transparan. Wallahu’alam bisshawab. (*)

 

Source: Lombok Post