Oleh: Beauty Erowati S. Riach
Saya ingat ketika menangani kasus-kasus kekerasan seksual selama lebih dari 10 tahun dengan korban hampir 99% adalah anak dan perempuan, menjadikan pengalaman yang sulit untuk dilupakan ketika terjadi kasus perkosaan yang korbannya perempuan dewasa. Tugas yang kita lakukan adalah membantu pihak Kepolisian didalam mencari bukti-bukti, dimana terkadang sangat sulit untuk memenuhi permintaan aparat penegak hukum, oleh karena dengan adanya pemikiran bahwa perempuan dewasa bisa menghindarkan diri dari kejahatan perkosaan atau kadang-kadang dianggap suka sama suka sehingga tidak memenuhi unsur perkosaan. Belum lagi dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para aparat penegak hukum yang membuat korban menjadi malas untuk melanjutkan permasalahannya, disamping pertanyaan berulang yang dilakukan hingga membuat korban merasa tidak nyaman.
Ketika suadah ada pernyataan visum dan keterangan dari korban, ini belum cukup untuk membawa kasusnya di Pengadilan, apalagi bila kekerasan seksual yang terjadi tanpa bukti fisik? Sudah dapat dipastikan korban tidak akan pernah mendapatkan keadilan. Contoh nyata dengan kasus-kasus yang terjadi akhir-akhir ini di kampus-kampus dimana secara fisik sulit untuk dibuktikan terjadinya kekerasan seksual, untung kalau pelakunya mengaku, bagaimana kalau mati-matian tidak mengaku?
Sejauh ini yang kita ketahui hukuman diberikan berupa sanksi administrative, itupun jika tidak terjadi “main mata” di Universitas. Dibanyak kasus dimana pemberian sanksi tegas kepada Pelaku dijatuhkan dengan tidak boleh melakukan aktifitas dikampus yang berkaitan dengan pendidikan sampai batas waktu yang ditentukan, akan tetapi yang terjadi pelaku masih bisa melakukan aktifitas dikampus seperti biasa hanya pindah tempat dan lama kelamaan orang menjadi lupa apa yang sudah pernah dilakukannya. Sehingga kehidupan pelaku menjadi normal kembali. Apakah pernah terpikir oleh kita bagaimana dengan keadaan psikologis korban? Tentu tidak pernah! Padahal patut diketahui penderitaan korban akan terjadi secara terus menerus selama hidupnya, yang kadang kadang mempengaruhi dikehidupan sehari-harinya.
Bagaimana pandangan masyarakat terhadap korban? Sampai kapanpun korban akan tetap menyandang nama sebagai “korban” atau mantan korban, tidak ada pemulihan nama baik sebagai korban, yang ada adalah pemulihan nama baik pelaku. Sungguh tidak adil.
Beberapa kasus yang ditangani oleh Apik selama ini juga terjadinya penculikan terhadap anak-anak perempuan dengan dalih bahwa itu adat padahal dalam praktek sama sekali berbeda dengan adat yang sebenarnya. Pihak laki-laki memaksa untuk menikahkan anaknya dengan gadis yang sudah diculiknya tersebut.
Kasus-kasus seperti merupakan pemaksaan perkawinan sangat sulit untuk dibawa keranah hukum, bahkan bila terjadi adanya pihak perempuan yang tidak setuju maka terjadi perang antar kampong. Hal ini yang membuat semua pihak termasuk aparat penegak hukum menjadi enggan untuk melakukan penyelesaian kasus sehingga keluarga dari pihak perempuan hanya gigit jari.
Kasus-kasus lain yang terjadi didaerah pariwisata dimana beberapa perempuan dan anak perempuan pernah melaporkan bahwa mereka datang ke Lombok dijanjikan oleh calonya untuk bekerja direstaurant atau di salon akan tetapi setelah sampai di Lombok mereka dipekerjakan sebagai pekerja seks.
Apik NTB berusaha mendampingi kasus tersebut dengan memakai UU Trafiking namun sekali lagi gagal, oleh karena dianggap tidak memenuhi unsur trafiking karena adanya kesepakatan antara calo yang membawa dengan para korban atau keluarganya. Padahal didalam kesepakatan tersebut ada unsur penipuan dan bujuk rayu, akan tetapi sebelum kasus terselesaikan, korban sudah dijemput keluarga atau mereka sendiri sudah capek dengan sistim hukum yang bertele-tele sehingga mereka ingin secepatnya kembali /pulang untuk mencari pekerjaan lainnya. Hal inilah yang tidak pernah membuat efek jera bagi pelaku, baik calonya atau pemilik usaha/ pengusahanya.
Melihat kembali RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) dengan jelas definisinya bahwa kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang atau perbuatan lainnya terhadap tubuh yang berkaitan dengan hasrat seksual atau juga yang berkenaan dengan fungsi reproduksinya dengan secara paksa yang bertentangan dengan kehendak seseorang sehingga menyebabkan sesorang itu tidak mampu memberikan persetujuan secara bebas karena adanya ketimpangan relasi kuasa dan atau relasi gender yang mengakibatkan penderitaan secara fisik, psikis, seksual, ekonomi, social budaya dan politik.
Dengan pemahaman definisi diatas jelas sekali bahwa RUU PKS ini mencoba mengakomodir permasalahan seluruh kejahatan seksual yang selama ini tidak ada aturan yang pasti, sehingga banyak korban berjatuhan tanpa mendapatkan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan.
Didalam RUU PKS juga dengan jelas menyebutkan jenis-jenis kekerasan seksual yaitu antara lain ; pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi dan pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran dan perbudakan seksual. Masing-masing dengan penjelasan yang sangat jelas didalam pasal per pasal sehingga tidak menimbulkan intepretasi yang salah lagi apabila kita menangani kasus kekerasan seksual.
Ruang lingkup terjadinya kekerasan seksual juga disebutkan didalam RUU PKS tersebut yaitu dalam lingkup rumah tangga (domestic) , public, relasi kerja dan dalam situasi khusus lainnya. Maksud dari situasi khusus adalah ketika bencana alam, kemudian situasi khusus lainnya adalah yang berkenaan dengan letak geografis wilayah serta situasi khusus lainnya.
Wajib diketahui dan dipahami juga apabila RUU PKS ini disahkan maka bukan hanya hukuman terhadap pelaku yang berat akan tetapi juga adanya kewajiban pemerintah didalam melakukan pencegahan, penanganan, perlindungan dan pemulihan korban.
Dengan uraian diatas para pembaca paham kenapa RUU PKS harus segera disahkan walaupun dalam kenyataannya belum masuk di Prolegnas (Program Legislasi Nasional) tahun ini, akan tetapi bila masyarakat sadar dan paham betapa pentingnya RUU PKS ini maka dukungan yang besar akan membuat perubahan yang sangat berarti.
(Penulis adalah Ketua LBH APIK NTB dan anggota Pengurus APIK Nasional)