Oleh: Beauty Erowati S. Riach
Maraknya kasus pelecehan seksual yang terjadi akhir-akhir ini dilingkup dunia pendidikan sungguh sangat memprihatinkan. Seperti yang terjadi baru-baru ini di Universitas ternama di Mataram.
Walaupun kita semua tahu bahwa kasus pelecehan seksual didunia pendidikan sebenarnya sudah terjadi sejak bertahun-tahun lalu, akan tetapi korban tidak mau bicara dikarenakan mereka menyadari bahwa kalau mereka bicara maka sanksi baik dari masyarakat maupun dari pihak pendidikan sendiri akan jatuh kepada korban, bukan pada pelaku.
Sanksi terberat adalah ketika masyarakat menganggap bahwa korban dianggap tidak bisa menjaga kehormatan dan mungkin korban juga menikmati. Belum lagi pihak Pendidikan tempat korban kuliah atau bersekolah menjadi acuh tak acuh bahkan merayu korban agar tidak sampai keluar kasusnya. Atau kalaupun dijatuhkan sanksi terhadap pelaku itu sangat ringan. Padahal harus disadari bahwa kekerasan yang terjadi itu akibat adanya relasi kuasa dan relasi gender dimana para pengajar atau dosen mempunyai kekuasaan terhadap korban. Sehingga hubungan yang tidak setara tersebut membuat Dosen/Pengajar menjadi semena-mena.
Kasus-kasus kekerasan seksual baik yang terjadi di dunia pendidikan maupun di tempat lainnya itu seperti gunung es, hanya nampak dari permukaan padahal dibawahnya begitu menggunung. Menurut Catahu 2019 Komnas Perempuan mencatat jumlah kekerasan seksual berupa pencabulan 531 kasus, perkosaan 715 kasus dan pelecehan seksual 520 kasus serta 176 kasus persetubuhan dan percobaan perkosaan. KPAI sendiri mencatat ada 236 kasus kekerasan seksual di tahun 2019. Data yang masuk di dua lembaga tersebut adalah karena adanya pelaporan, berapa sebenarnya kasus kekerasan seksual yang terjadi dan tidak melapor? Wallahualam.
Saat ini dengan adanya berbagai alat informasi maupun komunikasi yang terbuka dan mudah diakses khususnya informasi terhadap kebijakan perlindungan terhadap perempuan dan anak, masyarakat menjadi sedikit terbuka dan menjadi pertimbangan tersendiri untuk menjatuhkan sanksi sosial terhadap korban, sehingga para korban berani bicara.
Ketika korban pelecehan yang terjadi di Universitas di Padang, di Jogja, di Sulawesi Selatan dan terakhir Universitas Mataram berani bicara, banyak dari berbagai kalangan masyarakat mendukung korban bahkan tidak sedikit berbagai organisasi yang concern terhadap perempuan dan anak meminta agar pelaku dihukum seberat-beratnya melalui jalur hukum.
Pengalaman dari LBH APIK sendiri didalam menangani kasus kekerasan seksual dikategorikan sebagai kasus yang sulit ditangani, ini akibat dari system per undang-undangan kita yang belum banyak mengakomodir permasalahan kekerasan seksual karena definisi yang dibuat masih sangat sempit. Sehingga apabila tidak memenuhi unsur pada UU yang berlaku, korban tidak akan pernah mendapatkan keadilan.
Mari bersama-sama kita lihat UU khusus apa saja yang ada dan yang sudah memasukkan unsur kekerasan seksual tersebut.
Pertama UU Perlindungan Anak (UUPA) No.23 tahun 2002 Jo. No.35 tahun 2014 yang dimaksudkan sebagai kekerasan seksual adalah pemaksaan terhadap anak untuk hubungan seksual, pencabulan dan eksploitasi seksual, akan tetapi UU ini hanya khusus melindungi anak yang menjadi korban (dibawah 18 tahun). Bila korban berumur 18 tahun keatas berarti tidak memenuhi persyaratan dalam UU ini.
Kedua adalah UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) pada pasal 8 disebutkan bahwa “kekerasan seksual” adalah pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam rumah tangga tersebut. Ini jelas sekali UU ini tidak berlaku bila kekerasan terjadi diluar rumah tangga. Sementara dari definisi kekerasan seksual sendiri sudah jelas adanya hubungan seksual (intercourse) sehingga pemaksaan untuk memegang alat vital pelaku, mencium dan meraba-raba dengan paksaan tidak masuk dalam UU ini.
Selanjutnya UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO (Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang). Didalam ketentuan umum pasal 1 no.8 didefinisikan kekerasan seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan (keuntungan disini biasanya diartikan secara ekonomi), termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.
Sekali lagi didalam UU ini tidak serta merta korban dengan kategori diatas bisa terpenuhi unsur hukumnya. Oleh karena didalam definisi UU PTPPO dengan jelas bila unsur-unsurnya telah memenuhi syarat yaitu adanya perekrutan, pengangkutan, penampungan dan pengiriman.
Kemudian UU No.44 tahun 2008 tentang Pornografi. Dalam penjelasan pasal 4 huruf b, kekerasan seksual antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau pemerkosaan. Definisi sangat minim kekerasan seksual hanya terbatas pada persenggamaan dan pencabulan dengan paksaan. Dan perlindungan didalam UU ini khususnya korban kekerasan seksual lebih diutamakan perlindungan terhadap anak (pasal 16).
Bagaimana dengan KUHP (Kitab UU Hukum Pidana) sendiri apakah ada aturan tersendiri tentang kekerasan seksual? Jawabannya tidak! Semua yang berkaitan dengan kekerasan seksual dimasukkan ke dalam perkosaan dan pencabulan. Sedangkan definisi pencabulan sendiri tidak jelas, sehingga tergantung kepada masing-masing aparat penegak hukum untuk mendefinisikannya.
Membaca satu persatu tentang UU khusus yang mengatur tentang kekerasan seksual diatas, dengan jelas bisa dikatakan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi pada banyak perguruan tinggi yang terungkap akhir-akhir ini tidak ada keadilan untuk para korban karena dalam definisi KS sendiri tidak mengakomodir dengan banyak kasus yang terjadi.
Ketika terjadi kekerasan seksual dalam bentuk verbal (dengan menggunakan kata-kata jorok yang menjurus pada seksualitas), kemudian pemaksaan untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan seksualitas tetapi dibungkus dengan bahasa yang berbeda misalnya pemaksaan perkawinan kemudian pemaksaan secara tidak tertulis agar staf menggunakan seksualitas mereka guna menarik pelanggan (kebanyakan yang terjadi pada kantor-kantor jasa) tidak ada hukumnya.
Bagaimana dengan RUU PKS sendiri?
Didalam RUU PKS dengan jelas disebutkan kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Dari segi definisi atau yang dimaksudkan kekerasan seksual di dalam RUU PKS tersebut diatas sangat-sangat jelas dan mudah untuk dipahami, sehingga semua bentuk kekerasan seksual yang terjadi akhir-akhir ini tentu saja mudah ditangani karena sudah memenuhi syarat serta unsur-unsurnya.
Demikian pula dengan kasus-kasus perkawinan paksa yang banyak terjadi disekitar kita. Kalau kita membaca secara jelas ada Sembilan bentuk kekerasan seksual yang diatur didalam RUU PKS antara lain; Pelecehan seksual, perkosaan, eksploitasi seksual, pelacuran yang dipaksa (pemaksaan pelacuran), perbudakan seks, pemaksaan didalam penggunaan kontrasepsi, perkawinan paksa, pemaksaan aborsi dan terakhir penyiksaan seksual.
Banyak pertanyaan kenapa terjadi duplikasi dengan aturan yang sudah ada misalnya perkosaan yang sudah diatur didalam KUHP dan UU PKDRT kenapa harus diatur lagi didalam RUU PKS?
Bersambung