Naskah kuno atau manuskrip, banyak mengandung nilai-nilai kehidupan, yang masih relevan dengan era saat ini. Namun, tidak semua orang memahami itu. Maka diperlukan SDM untuk menjabarkannya.
YUYUN ERMA KUTARI, Mataram
Pandemi Covid-19, tak menghalangi Kepala Museum NTB Bunyamin membuat program baru. Kali ini bertajuk Sekolah Filologika, belajarnya tiga hari dalam sepekan”Kami sudah memulai ini pada pekan kedua April lalu,” tegasnya, saat ditemui Lombok Post, kemarin (21/5).
Program diikuti 15 peserta. Dari kalangan Museum NTB, sahabat museum dan sejumlah guru SMA. Tugasnya menulis, membaca, dan menerjemahkan naskah kuno Sasak.
Peserta dilatih oleh dua budayawan NTB, H Lalu Agus Fathurrahman dan Sahrul Qodri. Membaca naskah kuno tak bisa sembarangan. Diperlukan pendekatan dan ilmu tersendiri. Dalam hal inilah filologi dibutuhkan.
”Keduanya akan memberi tugas, baik bagaimana cara menulis, membaca, dan menerjemahkan naskah kuno itu. Serta mengkaji nilai-nilai apa saja yang terkandung di dalannya,” terang dia.
Sekolah Filologika Museum NTB tidak bersifat permanen. Artinya, program, ini hanya berlangsung selama 36 kali pertemuan saja. Setelahnya peserta akan diberi sertifikat.
Program ini berangkat dari keprihatinan pihak museum. Hingga kini sangat minim SDM NTB, yang mampu menulis, membaca, hingga menerjemahkan naskah kuno.
Dampaknya, banyak naskah kuno yang tidak dianggap memiliki nilai sejarah. Padahal bila dipelajari lebih jauh, banyak ilmu pengetahuan yang tersimpan. Sebut saja, tentang kehidupan sosial budaya masyarakat Bumi Gora pada masa lampau, obat-obatan tradisional, tradisi pernikahan, kuliner khas hingga tata praktik pemerintahan yang berjalan saat itu.
Kurangnya SDM yang memahami naskah kuno terkadang menyulitkan kerja peneliti. Yakni saat mengunjungi museum untuk melakukan kajian.
”Tidak ada yang berani mendampingi, karena tidak bisa membaca,” kata Bunyamin.
Museum NTB mengoleksi lebih dari 1.360 naskah kuno. Namun yang memahami masih sangat minim. Melalui program ini, setidaknya ada SDM NTB selain budayawan, yang mampu menjelaskan maksud dan isinya.
Program ini juga berguna bagi sekolah, agar memantik keingintahuan peserta didik mempelajari sejarah NTB. ”Jadi kalau kami ke sekolah, tidak lagi membicarakan tupoksi museum tetapi juga kita ajari mereka tentang aksara kuno ini,” pungkasnya. (*/r9)