Pada suatu hari, seorang pelayan disuruh majikannya membeli obat sakit kepala,
“Agak cepat, ya..kepala saya lagi sakit. Beli di warung depan aja.”
Ditunggu sampai 1 jam kemudian, si pelayan tidak kembali-kembali. Akhirnya, sang majikan harus membeli obat sendiri. Sudah diminum, ia istirahat.
Empat jam kemudian, si majikan bangun tidur dalam keadaan segar. Sakit kepalanya sudah sembuh. Anehnya, pelayannya belum kembali juga.
Berapa lama kemudian, si pelayan baru kembali. Tentu saja ia kena marah, ” Kamu gimana sih, disuruh beli obat aja lama sekali!!”
“Begini, Pak..saya pikir obat di warung kan bisa-bisa sudah kadaluarsa, jadi saya pergi membelinya ke apotek. Ini obatnya,” demikian jawaban si pelayan.
“Dari apotek! Siapa suruh kamu ke apotek? Kalau soal kadaluarsa, kan bisa dilihat dari stempelnya. Saya nggak ngerti deh – masa ke apotek sampai hampir 5 jam?!”
“Soalnya begini, Pak, dari apotek saya ke dokter?”
“Ke dokter? Ngapain kamu ke dokter?”
“Saya pikir kalau Bapak belum sehat sampai sore ini, kan harus ke dokter. Jadi, saya sekalian minta nomor urut antriannya.”
“Kamu ini gimana sih – ke dokter segala? Dan kamu tunggu di situ sampai 4 jam?”
“Tidak, Pak. Disitu sih tidak lama.”
“Lantas kemana?”
“Dari dokter, saya ke masjid, nyamperin Pak Haji.”
“Ngapain kamu nyamperin Pak Haji?”
“Saya pikir kalau Bapak tidak sembuh juga, lantas meninggal, kan harus ada persiapan kain kafan. Jadi, dari tempatnya Pak Haji, saya juga sekalian ke yayasan yang mengurus penguburan jenazah.”
“]=]&#;?-*((!:]&[?[*”
***
Cerita ini konyol. Sama konyolnya dengan pikiran kita yang tak henti-hentinya mengantisipasi kehidupan. Mengejar ini dan itu hanya untuk mengantisipasi prediksi-prediksi pikiran akan kehidupan. Kita seperti seonggok daging yang dikarunia napas, namun tidak pernah benar-benar menyentuh aliran kehidupan, sibuk dengan asumsi-asumsi tentang kehidupan.
Kegelisahan, ketakutan, kekhawatiran sudah menjadi teman yang sangat akrab dan membahanbakari sebagian besar langkah dan keputusan dalam hidup. Seolah-olah sibuk, tapi sibuk dikelabui oleh pikiran sendiri. Seolah-olah berpikir, tapi sebenarnya sedang dikerjain oleh pikirannya sendiri. Terlihat seperti memiliki banyak aktivitas, tapi kering makna, tidak mendalam, hanya kumpulan pelarian.
Mengantisipasi tentu bukan hal yang selalu buruk. Melakukan hal-hal strategis agar proses yang dilalui efektif dan efisien tentu penting dalam konteks bekerja. Namun, perlu ada kesadaran dalam melihat mana pikiran praktis dan mana pikiran psikologis. Dengan demikian, energi perhatian bisa digunakan secara optimal kepada hal-hal yang memudahkan aktivitas dalam kehidupan, bukan justru memperumitnya.
Hiduplah dengan sadar. Hadirlah dengan utuh. Menyentuh aliran kehidupan dengan lebih merasakan, bukan memikirkan. Berpikir tentu penting, tapi tidak semua pikiran yang muncul itu penting dan berguna. Sadari berkah kehidupan berupa napas, tubuh yang sehat, pakaian yang menempel di badan dan tersimpan di lemari, makanan yang ada di meja makan, air yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan, listrik, kuota internet, gawai, kasur yang empuk, uang yang ada di dompet dan rekening berapapun jumlahnya, mata yang bisa membaca tulisan ini, orang-orang yang kita sayang, dan hal-hal lain yang mungkin jarang kita syukuri.