Pada tahun 2020 per-September, penduduk Indonesia yang berada di garis kemiskinan mencapai 27,55 juta jiwa. (Badan Pusat Statistik: https://www.bps.go.id > 2021/0215). Tentu, jumlah ini sangat besar, apalagi jika dibandingkan jumlah penduduk negara Australia yang hanya mencapai 26. 072.700 jiwa. Di masa pandemi ini, laju jumlah mereka terus bertambah tanpa bisa dibendung. Selanjutnya, fenomena sosial-ekonomi menjadi isu yang sangat seksi untuk diperbincangkan oleh berbagai pihak dengan motivasi yang beragam.
Secara sosiologis, kemiskinan dipahami oleh Oscar Lewis dalam tulisannya ”Harta Milik Orang Miskin” sebagai ketidaksanggupan seseorang dalam memenuhi kebutuhan-kebutahan pokok dan keperluan material sehari-hari (Parsudi Suparlan: 1995; 152). Kondisi kehidupan ini mewujud dalam kehidupan sosial bukan semata-mata karena sistem ekonomi yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan, yang kemudian dikenal dengan istilah kemiskinan struktual. Dalam kenyataannya, kemiskinan juga merupakan perwujudan dari hasil interaksi yang hampir melibatkan semua aspek yang dimikili manusia dalam kehidupannya, atau disebut kemiskinan kultural (Parsudi Suparlan: 1995; xii).
Kedua jenis kemiskinan (struktural dan kultural) ini secara langsung berpengaruh terhadap kondisi kesehatan, pendidikan, kualitas moral, dan harga diri mereka yang tergolong sebagai orang miskin. Akibat buruk berikutnya adalah sendi-sendi kehidupan lainnya turut melemah, seperti mengendornya komitmen terhadap nilai-nilai moral yang berbasis budaya dan agama, memudarnya komitmen terhadap keharmonisan sosial, dan komitmen kebangsaan (nasionalisme). Tegasnya, kemiskinan berpotensi mengalirkan energi negatif kepada orang yang tertimpa olehnya untuk memperlihatkan sikap pengingkaran dan penolakan (kufur) terhadap realitas obyektif yang selama ini diterima sebagai suatu kebenaran dan kebutuhan, baik dalam konteks beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karenanya, ketidakberuntungan ekonomi ini sangat dekat dengan kejahatan dalam berbagai aspek kehidupan; keagamaan, politik, sosial, dan ekonomi dan lain-lain. Selaras dengan pernyataan ini, doktrin teologis agama menegaskan: ”Hampir saja kefakiran itu menjadi kekufuran”.
Bagi kalangan fungsionaris agama, kemiskinan menjadi alat yang efektif untuk mempengaruhi umat beragama tertentu untuk pindah ke agama yang lain. Di mata politisi, kemiskinan dapat menjadi isu politik untuk merongrong kewibaan pemerintah yang berkuasa, menciptakan instabilitas negara, dan mobilisasi massa yang diarahkan pada gerakan separatis. Di dalam benak pelaku bisnis NARKOBA, kemiskinan dijadikan sebagai momentum untuk meninabobokan (lebih tepatnya menghancurkan masa depan) orang-orang yang tidak beruntung dengan obat-obat terlaranng. Sementara dalam pemikiran para pelaku judi, kantong-kantong kemiskinan dijadikan sebagai sarang bagi mereka untuk pengembangan bisnis judinya. Inilah bahaya laten kemiskinan. Dalam banyak kasus, adanya migrasi teologis umat beragama atas dorongan para misionaris agama, gerakan separatis, kekacauan sosial (social disorder), industri dan distribusi NARKOBA, perjudian, bahkan juga bisnis seks tumbuh subur di daerah atau negara yang masuk dalam katagori miskin.
Meskipun kemiskinan berpotensi menimbulkan bahaya laten, teraktualisasinya potensi tersebut bukan semata-mata faktor kemiskinan itu sendiri, banyak faktor-faktor lain yang menstimulasinya untuk menjadi aktual. Kemiskinan yang diakibatkan oleh proses penindasan terselubung atas nama agama, kepentingan bersama, dan negara atau diakibatkan oleh sistem ekonomi yang tidak berpihak pada mereka, biasanya menjadi pemicu utama atas timbulkan bahaya laten di atas. Di samping itu, menurut Kriminolog Robert Park sebagaimana dikutip oleh Francis Fukuyama dalam bukunya The Great discruption, teraktualisasinya potensi tersebut juga karena adanya dislokasi sosial (kesalahan lingkungan sosial).
Di pihak lain Kriminolog kontemporer Robert Sampson dan John Laub, menambahkan efek buruk kemiskinan menemukan momentumnya untuk beraksi saat terjadi disfungsi norma-norma sosial (Francis Fukuyama: 2002; 45). Sementara bagi agamawan, potensi negatif itu menyeruak ke permukaan diakibatkan oleh pemahaman yang salah dari mereka yang tertimpa kemiskinan terhadap kemiskinan itu sendiri, kemiskinan dipandang sebagai akibat ketidakberpihakan Tuhan pada diri mereka.
Faktor-taktor itulah yang menstimulasi bahaya laten kemiskinan mewujud dalam kehidupan sosial. Di sini, kemiskinan akan selalu menjadi ancaman bagi daerah atau negara yang masuk dalam katagori miskin atau memiliki banyak kantong-kantong kemiskinan, seperti Indonesia. Tentu, bahaya laten yang dihadapi oleh Indonesia sangat serius dan menjadi ancaman internal terbesar bagi negeri ini sekarang dan di masa akan datang.
Adalah benar jika kemiskinan merupakan suatu keniscayaan dalam suatu sistem kehidupan manusia baik dalam perspektif sosiologis maupun teologis. Justru persoalannya menjadi sangat complicated dengan segala implikasinya bilamana jumlah kemiskinan mencapai nol persen. Artinya, kemiskinan harus ada. Namun, keberadaannya bukan diproduksi oleh suatu sistem kehidupan dalam suatu kesadaran penuh insani. Tetapi, lebih disebabkan keterbatasan sistem kehidupan yang dibangun sehingga tidak terhindarkan lahirnya kemiskinan sebagai dampaknya sebagaimana dibenarkan dalam nalar logis utilitarianisme. Di samping itu, laju jumlahnya pun juga dalam kendali oleh sistem yang berlaku. Ketika keberadaan kemiskinan tidak memenuhi dua persyaratan tersebut, maka wujudnya dipandang sebagai anomali. Bahaya laten yang dikandungnya akan lebih dahsyat dibandingkan dengan bahaya laten kemiskinan niscaya.
Menekan dan mengurangi jumlah kemiskinan merupakan cara konvensional menghindari dan mengurangi bahaya laten yang mengiringinya. Untuk kepentingan ini, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh antara lain; pertama, membangun sistem ekonomi yang membuka akses ekonomi seluas-luasnya bagi mereka yang terlilit kemiskinan; kedua, melakukan distribusi ekonomi secara adil dan merata. Dalam konteks Islam, dilakukan dengan memaksimalkan fungsi zakat, shadakah, dan wakaf; ketiga, dalam konteks negara vis-a-vis rakyat, pemerintah lebih mengedepankan pendekatan kesejahteraan terhadap mereka yang didukung oleh pendekatan yuridis, politik, stabilitas keamanan; keempat, menurut Robert Sampson dan John Laub, memelihara norma-noma sosial secara informal oleh berbagai komunitas selain oleh keluarga sebagai sumber tatanan sosial (Fukuyama: 2002; 45); kelima, melakukan religion touch (sentuhan agama) tidak dalam kerangka menghibur, tetapi membangun etos kerja mereka keenam, melakukan rekonstruksi sosial-psikologis yang berbasis pada nilai-nilai universal, khususnya, di daerah yang membudayakan kemiskinan dan kejahatan.
Keenam langkah di atas akan mampu meredam bahaya laten kemiskinan secara substantif dan relatif permanen bilamana dibarengi pendidikan kesehatan mental. Dengan pendidikan inilah, seseorang diharapkan memikili mental yang sehat; tidak tenggalam dalam kemiskinan yang dideritanya dan terus mengharap ulur tangan orang lain. Dengan mental tersebut, seseorang akan terhindar dari simton-simton neurosis dan psikosis (penyakit jiwa). Bahkan ia mampu memanfaatkan sekecil apa pun potensi dan bakat yang dimiliki untuk mencapai kebahagian dan keharmonisan jiwa (Zakiyah Daradjat, 1982). Tegasnya, seseorang dengan kesehatan mental, alih-alih menyerah terhadap kehidupan dan menjadi beban sosial, justru ia akan ’melawan’ atau bahkan mengendalikan kehidupan sesuai kehendaknya (Langgulung, 1996).
Untuk membangun mental sehat dimaksud, ada beberapa langkah edukatif yang ditempuh antara lain 1), pendidikan yang mengeksploitasi tiga komponen perennial yang lekat pada manusia, yaitu: a) kesadaran untuk diakui ada; b) secara naluriah, sikap meminta adalah hina; c) doktrin-doktrin agama yang menuntun pemeluknya menjadi pemberi; 2) merekayasa kehidupan anak dengan menghadapkan mereka pada sejumlah masalah yang mendorong mereka survive; 3) habituasi sikap/tindakan memberi (giving action) meskipun dalam kondisi sulit; 4) memberi makna positif pada setiap peristawa yang terjadi meskipun dalam pandangan umum ia adalah buruk; 5) membangun positive self concept (konsep diri yang positif) untuk menumbuhkan self esteem (menghargai diri) dan self confidence (percaya diri; 6) melatih bertindak atas dasar extrinsic motivation (motivasi yang tumbuh dari dalam).
Masa pandemi covid 19 yang masih berlangsung saat ini betul-betul membutuhkan gerakan edukasi kesehatan mental dimaksud – tentu dibarengi dengan enam langkah di atas — mengingat sejumlah individu dalam masyarakat terancam mengalami krisis kesehatan mental sebagai dampak dari persoalan ekonomi yang menghimpit mereka.
Editor: Dani
kicknews.today