counter hit make

Manfaatkan Ritel Modern UNTUK Promosi Produk UMKM

MATARAM-Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) NTB Abdul Azis Bagis menyorot regulasi terbaru yang dirilis Kementerian Perdagangan No. 23/2021. Regulasi itu tentang pedoman pengembangan, penataan, dan pembinaan pusat perbelanjaan dan toko swalayan.

Salah satunya mengenai kewajiban penyediaan ruang usaha atau ruang promosi untuk UMKM atau produk dalam negeri paling sedikit 30 persen dari total luas area pusat perbelanjaan. Ia menilai aturan ini cocok diterapkan di daerah. ”Kalau di kota besar lainnya mungkin jadi persoalan. Tapi di daerah, aturan ini cukup positif yang bisa menjadi stimulan bagi UMKM,” katanya saat dihubungi, (30/5).

Menurutnya, hal ini karena jumlah pengusaha ritel besar terbatas tak seperti di luar kota. Pengusaha juga membutuhkan kehadiran UMKM untuk mengisi ruang. Sebagian produk-produk UMKM tetap menjadi preferensi konsumen meski di pusat perbelanjaan modern. Sehingga ia menerjemahkan aturan kuota 30 persen ini sebagai kelonggaran yang menguntungkan kedua belah, pihak baik pengusaha ritel maupun UMKM. ”Yang penting pasarnya sesuai dengan produk itu. Ini mematahkan kekhawatiran terkait konsumsi pasar,” katanya.

Meski demikian ia menggarisbawahi aturan mengenai pembiayaan. Jika kedua belah pihak bermaksud bermitra, sewajarnya untuk diberikan kelonggaran tarif yang lebih terjangkau. Juga opsi profit sharing atau sistem bagi hasil yang saling menguntungkan. Artinya, setiap UMKM mendapat keuntungan, ada bagian yang diterima pihak ritel sesuai kesepakatan. Sebaliknya, ritel dapat melakukan seleksi, membuat kriteria yang sehat sesuai kebutuhan. Terpenting adalah harus dibarengi pendampingan pada UMKM. Ada servis konsultasi yang ditawarkan meski berbayar.

”Jangan hanya sewa, lalu ditinggal. Selama ini seperti ada pembiaran seperti itu,” sindirnya.

Terakhir, jika memang dapat dilakukan dan diadaptasi ke daerah, peran pemerintah juga dinilai tak kalah penting. Regulasi harus dibarengi fasilitasi. Melalui penerbitan regulasi di tingkat daerah yang dianggap sesuai dengan keinginan pemerintah selama ini, mendorong ke arah yang sama. Yaitu memanjukan UMKM dengan menggencarkan promosi produk-produk lokal dan bela beli produk lokal.

”Pemda harus tangkap pesan itu lalu dikuatkan dengan perda terkait,” ujar pria yang juga menjabat dosen Universitas Mataram tersebut.

Nantinya pemerintah dapat mengambil peran sebagai pihak pengawal, penasehat dan penengah antara UMKM dengan pihak ritel. Bila perlu, tak hanya berfokus pada ruang dan jumlah sebesar 30 persen itu saja. Melainkan juga terkait posisi, layout dan hal-hal terkecil lainnya. Meminimalisir adanya intimidasi pada UMKM. ”Jadi fungsi pemberdayaan berjalan, strategis, dan saling menguntungkan,” katanya.

Terpisah Ketua Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (Iwapi) NTB Hj Baiq Diyah Ratu Ganefi mengatakan, aturan ini baik bagi UMKM. Menurutnya, bentuk afirmasi terhadap UMKM tak perlu dipatok dengan persentase dan jumlah yang rigid. Terpenting adalah barang UMKM dapat berpromosi di ritel-ritel modern. Karena selama ini, produk UMKM ditaruh di ritel modern dengan posisi dan jumlah yang amat terbatas bahkan jauh dari jangkauan konsumen. ”Mau 10 persen, satu gerai atau satu loker yang penting ada space untuk produk UMKM ini,” katanya.

Selain itu, kapasitas UMKM belum mampu mengisi sebesar 20-30 persen dari kapasitas mall-mall besar.  Karena belum sepenuhnya produk UMKM layak untuk dipamerkan di sana. Mereka harus lebih dulu melalui proses kurasi, penyelesaian perizinan dan sebagainya. Akan lebih baik jika barang yang dipamerkan adalah produk lokal yang sudah go nasional bahkan dunia. Seperti kopi, mutiara, kain tenun dan sebagainya. Manfaat lainnya, ini dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan UMKM baru untuk lebih gencar lagi. ”Bisa difasilitasi dan tanggung jawab melalui asosiasi maupun dinas yang mewadahi UMKM terkait untuk proses pemilihannya,” sarannya. (eka/r9)

 

Source: Lombok Post