Judul tulisan ini jelas tendensius. Bagi orang seperti penulis, semangat egaliter justru mengemuka sebagai metode baru dalam mengembangkan kopi nasional.
Kopi sebagai wahana baru dalam berbagai konsep kini berkembang pesat di Indonesia. Tak ada yang salah, semangat dalam memacu kualitas hasil panen, proses, roasting hingga berbagai bentuk penyajian makin kaya.
Bahkan, menjadi luar biasa ketika kopi menjadi alternatif bagi sebagian orang untuk menjadi ‘penolong’ ketika krisis terjadi. Belum ada data resmi yang menyebut jumlah kedai dan usaha kopi yang bermunculan di kalau krisis (Pandemi).
Jika tengok dalam sejarah, ber-kopi menjadi gagasan utama dalam perubahan sosial, kedai kopi di berbagai negara memperlihatkan keberadaan kedai kopi tidak sekedar menjadi tempat berkumpul dan menyeruput kopi, tetapi kedai kopi telah menjadi tempat yang strategis dalam interaksi sosial, dimana ide dan gagasan terjalin.
Orang masuk kedai kopi bukan sekedar mencari sensasi rasa kopi, namun menemukan semangat egaliterian. Justru itulah yang terjadi pada fenomena kopi dunia. Selain kopi dengan kafein yang menawarkan sensasi semangat, juga dengan ‘nongkrong’di kedai-kedai muncul gagasan dan ide.
Dikutip dari BBC dalam How Coffee Influenced The Course Of History, terungkap bahwa kopi adalah minuman yang membuat orang tetap terjaga dan aktif. Pada pemahaman yang lebih luas, minuman kopi telah membantu kita membentuk sejarah peradaban dan budaya baru umat manusia. Sejarawan Mark Pendergrast, penulis buku Uncommon Grounds: The History of Coffee and How It Transformed Our World – mengatakan kepada Morning Edition, Steve Inskeep, bahwa sejak tahun 1500-an, minuman itu menyebar ke kedai kopi di seluruh dunia Arab.
Kedai kopi menjadi tempat terjadinya pertukaran pikiran, ide dan gagasan secara dinamis-progresif. Hal ini dikisahkan oleh Pendergrast, bahwa sejarah berdirinya perusahaan asuransi Lloyd’s of London ratusan tahun yang lalu, lahir di salah satu dari 2.000 kedai kopi di London dan begitu pun dengan beberapa karya sastra, surat kabar dan bahkan karya-karya komposer besar dunia seperti Bach dan Beethoven juga muncul di kedai kopi.
Dalam diskripsinya, Pendergrast mencatat bahwa setelah Pesta Teh Boston tahun 1773, pada saat koloni Amerika menyerbu kapal teh Inggris dan melemparkan peti teh ke pelabuhan, orang-orang Amerika secara umum mulai beralih meminum kopi. Ini memang ironi, pada sisi lain, kopi yang sama telah memicu lahirnya revolusi Prancis yang juga sedang diproduksi oleh budak Afrika yang telah dibawa ke San Domingo (Haiti) dan memiliki andil yang signifikan di dalam perumusan pikiran-pikiran yang menghasilkan peristiwa-peristiwa bersejarah.
Sambil minum kopi, ngopi, mampu membuat orang berpikir secara aktif dan kedai kopi merupakan tempat yang egaliter, sehingga peristiwa-peristiwa penting sejarah, seperti Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika dirancang dan dibicarakan di kedai kopi.
Masih panjang soal cerita kopi, dalam membentuk peradaban. Lalu di Indonesia bagaimana? Tak jauh beda seperti di negeri lain, kedai-kedai kopi Medan, Belitung Timur, Aceh, Jawa Timur, Pontianak, Makasar, dan hampir di seluruh kota dan kota-kota kecil di Indonesia. Di pedesaan warung kopi adalah ruang demokrasi, disana keputusan non formal diambil. Akrab disebut sebagai warung kopi adalah tempat bercengkrama. Semangat egaliter ada di sana. Kebebasan bersuara dan bersikap. Bahkan warung-warung kopi memberi tiap orang kemerdekaan untuk bebas membicarakan politik dan seks tanpa harus dibatasi oleh norma. Di warung kopi juga menjadi acuan dalam bersosial, jika laki-laki jarang ke warung akan distigma sebagai orang kurang gaul. Ini terjadi di tahun 70-90’an.
Lihat saja geliat kedai dan warung kopi, disanalah rakyat berkumpul. Nongkrong hanya beralaskan kertas koran pun jadi, yang penting ngopi bareng. Dalam konsep jurnalistik, rubrik yang bebas bahkan sering dinamakan ‘warung kopi’. Kopi bukan semata, mata minuman bukan, karena dia adalah spirit, discourse, dan minuman itu sendiri. Gerakan mahasiswa misalnya, juga berawal dan berlangsung dari warung kopi.
Datanglah ke warung
kopi, karena sejatinya disanalah peradaban dibangun. Dengarkan dan ungkapkan gagasan, ide dan pendapat anda.
Mari ngopi, temukan sahabat baru, temukan arti hidup sesungguhnya.