counter hit make

Enam Unit Politik Berupa Kerajaan yang Ada di Pulau Sumbawa Sampai Tahun 1815. Apa Saja?

Pulau Sumbawa merupakan pulau ketiga sesudah Bali dan Lombok dalam urutan deretan kepulauan ke timur yang dahulu dikenal dengan Sunda Kecil. Letaknya diapit oleh Pulau Lombok di sebelah barat dan Pulau Flores di sebelah timur, Samudera Hindia di sebelah selatan dan Laut Flores di sebelah utara.

Posisi ini secara mikro mempunyai arti penting dalam hubungan historis antara Pulau Sumbawa bagian barat (Sumbawa) dengan Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa Bagian Timur (Bima) dengan Flores (Manggarai). Hubungan ini mempunyai konsekuensi-konsekuensi sosio-politis, sosio-ekonomis dan kultural, sebab pada abad-abad ke-17 dan ke-18 Sumbawa bagian barat mempunyai pengaruh di Selaparang (Lombok) sampai tiba saatnya kemudian didesak oleh Bali, dan pada abad ke-18 sampai akhir dekade ketiga abad ke-20, Sumbawa bagian timur (Bima) secara nominal kalau tidak dapat dikatakan real menguasai Manggarai.

Posisi in secara makro dilihat dari sudut geo-politik – Pulau Sumbawa berada diantara dua pengaruh besar politik dan kultural Jawa dari barat dan Makassar dari utara pada masa-masa pra dan paska-Islam. Hinduisme dari Jawa masih meninggalkan bekas-bekasnya di Pulau Sumbawa, begitu pula agama Islam masuk ke Sumbawa dari Jawa via Lombok, sedangkan Makassar juga sebagai pusat penyiaran Islam bagi Bima.

Selanjutnya, secara politis, Jawa memperkenalkan sistem kerajaan dan Makassar memperkenalkan gelar serta pangkat-pangkat Hadat Kerajaan di Pulau Sumbawa. Semua ini menunjukkan bahwa dalam proses sejarah yang berlangsung berabad-abad (longue duree), Pulau Sumbawa secara sosio-politis, sosio-kultural, dan sosio-ekonomis senantiasa berhubungan dan berinteraksi dengan dunia di luar batas-batas teritorialnya. Hal ini penting sehubungan dengan keterlibatan Sumbawa untuk menerima pengaruh-pengaruh dari luar, di samping dinamika masyarakat Sumbawa sendiri untuk menyaring pengaruh-pengaruh itu sesuai dengan keadaan dan kebutuhan yang berlaku setempat pada waktu itu.

Pembagian Unit Politik dan Suku

Sampai 1815, di Pulau Sumbawa terdapat 6 unit politik berupa kerajaan atau kesultanan, yaitu Bima (Bhima), Dompu (Dompo), Sumbawa, Sanggar, Tambora, dan Papekat. Tiga yang pertama adalah kesultanan besar yang termasuk “state government”, sedangkan tiga yang terakhir adalah kesultanan kecil yang termasuk “minimal government”. Kriteria besar dan kecil ini menurut luasnya wilayah pemerintahan, besarnya jumlah penduduk, kekuasaan dan kewenangan pemerintah, serta kuatnya sentralisasi, hierarki dan diferensiasi kekuasaan. Keenam kesultanan itu masing-masing berdaulat dan berdiri sendiri. Akan tetapi, dengan meletusnya Gunung Tambora tahun 1815, Kerajaan Tambora dan Papekat lenyap, sedangkan empat unit politik lainnya masih dapat terus bertahan.

Pembagian kerajaan-kerajaan ini tidak sama dengan pembagian bahasa-bahasa daerah yang dipergunakan di pulau itu. Menurut bahasa-bahasa daerah yang dipakai, ada dua kelompok besar masyarakat: Bahasa Sumbawa (basa Samawa) yang digunakan oleh orang-orang Sumbawa (tau Samawa) dan bahasa Bima (nggahi Mbojo) yang digunakan oleh orang-orang Bima (dou Mbojo), Dompu (dou Dompu), dan Sanggar (dou Sangga). Jelasnya, masyarakat yang mempergunakan bahasa Sumbawa terdapat di Pulau Sumbawa bagian barat yang bertepatan dengan Kesultanan Sumbawa dan masyarakat yang mempergunakan bahasa Bima terdapat di Sumbawa bagian tengah dan timur pulau yang bertepatan dengan kesultanan-kesultanan Dompu, Sanggar, dan Bima.

Dalam lingkungan yang lebih besar – menurut klasifikasi Esser mengenai bahasa-bahasa Austronesia – bahasa Sumbawa termasuk dalam kelompok Bali-Sasak, sedangkan bahasa Bima termasuk dalam kelompok bahasa Bima-Sumba.

Kemudian sejalan dengan pembagian bahasa-bahasa ini, C. van Vollenhoven membagi-bagi pula menurut lingkar hukum adatnya (rechtskring). Sumbawa termasuk dalam kelompok “Bali en Lombok”, sedangkan Bima dan selebihnya termasuk dalam “de Timorsche kring”.

Jadi, singkatnya, berdasarkan bahasa yang dipakai, di Pulau Sumbawa ada dua kelompok suku (etnis) utama, yaitu Sumbawa dan Bima. Benar bahwa di Bima ada yang disebut orang Donggo (dou Donggo) atau “orang gunung”, tetapi pada dasarnya mereka adalah orang Bima juga yang menyingkir ke gunung-gunung karena semula mereka menolak memeluk Islam. Orang Donggo ini mengasingkan diri dari orang Bima Islam yang berdiam di dataran dan mereka semula tetap mempertahankan “keaslian”. Hanya saja mereka tetap menggunakan bahasa Bima dengan sejumlah kata-kata yang agak asing bagi orang-orang Bima yang berdiam di dataran. Pada waktu-waktu tertentu, orang Bima dan orang Donggo saling berhubungan, misalnya melalui perdagangan in natura.

Sumber: Memori Pulau Sumbawa – Helius Sjamsuddin