counter hit make

Berikut Hal yang Paling Penting Ketika Ingin Move On

Kita semua pasti pernah menjadi orang yang dicurhati teman atau keluarga kita, bukan? Siapa yang sering? Orang yang sering menerima curhat-an pasti sangat menguasai ilmu yang satu ini. Apa itu? Ini terkait dengan 3 tugas penting seorang penerima curhat. Tugas utama dari seseorang yang dicurhati yaitu MENDENGARKAN. Tugas kedua yang juga penting yaitu mendengarkan dengan seksama. Tugas ketiganya yaitu mendengarkan dengan empati…hehehe. Intinya mendengarkan. Tugas mendengarkan seperti ini tidaklah mudah teman-teman. Kadangkala mucul pertarungan dalam diri juga. Emosi kita seringkali terbawa juga ketika kita mendengarkan curhat-an orang lain. Kita, sebagai orang yang mendengarkan, seringkali malah ikut-ikutan jengkel, akhirnya ikut marah-marah, ikut sedih, ikut benci dengan keadaan, ikut gregetan. Nah, kalau sudah begini, semuanya pada ingin cerita, meluapkan emosinya masing-masing, jadilah masalahnya tambah besar dan banyak.

Makanya, ada satu benda yang bisa kita jadikan contoh yang sangat baik ketika kita menjadi penerima curhat. Ada yang tahu? Tempat sampah! Bukan tempat sampah sembarangan tentunya, tapi tempat sampah yang bagian bawahnya bolong! Tempat sampah yang tidak beralas. Dengan menjadi seperti “tempat sampah yang tidak beralas” kita tidak menjadi penampung sampah (uneg-uneg), tapi menjadi pengalir sampah tersebut. Akhirnya, kita tidak ikut terbebani oleh emosi-emosi orang lain. Memerhatikan ceritanya, tapi tidak menampung emosinya. Kita tetap relatif netral, sehingga nantinya bisa memberikan saran yang seobjektif mungkin, semampu kita, walaupun memang subjektivitas tidak bisa dihilangkan semuanya.

Kenapa ini penting terkait kesehatan mental? Karena dengan mengetahui hal-hal seperti itu, kita menjadi tahu bagaimana memaknai ulang sesuatu sehingga pendar cahaya kebahagiaan kita semakin besar dan terang, tidak terhalangi oleh awan-awan emosi yang tidak produktif. Terkait dengan curhat, aktivitas itulah yang menyebabkan perpindahan emosi dari hati seseorang ke luar. Emosi butuh ruang untuk bisa bergerak “ke luar”. Bila tidak? Emosi-emosi itu akan menghantam “ke dalam”. Dan itu biasanya menyesakkan. Orang-orang yang curhat itu kan sebenarnya butuh orang yang mendengarkan uneg-unegnya, memberikan kasih sayang, perhatian, dukungan kepadanya. Solusi dibutuhkan, tapi tidak begitu banyak porsinya. Solusi itu justru seringnya datangnya dari orang yang curhat itu sendiri. Setelah semua bebannya tertumpah keluar, akhirnya ada “ruang kosong” di hatinya. Nah, “ruang kosong” itulah yang membuat dirinya bisa melihat lebih jelas, lebih luas, lebih logis, lebih bijaksana. “Ruang kosong” itu juga yang nantinya diisi oleh aliran inspirasi. Solusi biasanya terkandung di dalamnya.

Beberapa orang pernah curhat kepada saya dengan tema yang sama. Mereka ingin “melupakan” masa lalu dan memulai “hidup baru” dengan cinta, semangat, dan antusias yang baru dan lebih membara. Mereka melakukan banyak hal baru, menyibukkan diri dengan apa saja agar tidak “teringat” kenangan di masa lalu. Berhasil? Tentu saja berhasil…berhasil membuat mereka sangat kelelahan dan semakin mengingat kenangan itu ☺. Semakin dilupakan, justru semakin teringat. Apa yang ingin kita lupakan akan semakin kita ingat karena proses pertama dari melupakan adalah mengingat! Cara terkeren untuk mengatasi ini ada 2 hal. Apa sajakah itu? Menerima dan memaafkan. Berlari dari keadaan yang menyesakkan di masa lalu sepertinya cara yang masuk akal, tapi harus saya katakan bahwa itu adalah tidak masuk hati. Memang tidak mudah untuk menerima dan memaafkan, apalagi terkait sesuatu yang tidak mengenakkan hati kita.

Akan tetapi, tanpa proses itu, “pelarian” kita kemanapun hanya akan menghasilkan kelelahan dan kemungkinan hadirnya masalah baru. Kita sepertinya bisa menghindari kemanapun orang atau keadaan yang ingin kita lupakan, tapi masalahnya, keadaan atau orang yang ingin kita hindari itu memiliki jejak kenangan di pikiran kita. Kita sedang menghindari sesuatu yang ada di pikiran kita sendiri. Kita menghindari bagian diri kita sendiri! Akhirnya kita tidak nyaman dengan diri kita sendiri. Ketidaknyamanan ini yang membuat apapun yang dilakukan rasanya tidak enak dan salah. Setelah kelelahan, kita baru menyadari bahwa “kita berlari muter-muter menghindari sesuatu yang ada di dalam diri kita sendiri”.

Banyak dari kita ingin mengubah keadaan menjadi lebih baik menurut versi kita masing-masing. Begitu juga saya. Berbagai cara ditempuh. Ada yang berhasil, ada juga yang tidak berhasil. Dari banyak hal yang berhasil, saya memelajari bahwa perubahan di luar diri kita selalu dimulai dari dalam diri kita. Dari apa yang kita pikirkan, dari apa yang kita rasakan. Saya pikir, tidak ada yang lebih membuat kita gila selain mencoba mengubah seseorang atau keadaan tanpa terlebih dahulu mengubah sudut pandang kita tentang seseorang atau keadaan tersebut. Pisau yang tajam hanyalah pisau yang tajam. Pisau tersebut akan dipandang negatif oleh orang-orang yang pernah mengalami luka karenanya. Namun, pisau yang sama bisa memberikan banyak manfaat bagi orang-orang yang sangat gemar memasak. Koki memiliki sudut pandang yang positif terhadap pisau. Uang, bagi sebagian orang memiliki konotasi yang tidak begitu baik. Ada yang berpikir bahwa uang adalah sumber kejahatan. Semakin banyak kita memiliki uang, kita akan menjadi semakin tamak. Orang-orang kaya adalah orang-orang yang rakus, pelit, bekerja hanya untuk kepentingannya sendiri. Namun, apakah semua orang yang memiliki uang memiliki karakter seperti itu? Masa tidak ada orang kaya yang baik diantara milyaran manusia ini? Dengan pikiran seperti itu, apakah mungkin orang-orang tersebut nyaman ketika mendapatkan uang? Apakah memungkinkan mengumpulkan banyak uang dengan sudut pandang seperti itu? Rasanya sulit.

Manusia adalah mesin pembuat makna. Makna itu sebenarnya tidak mengandung unsur salah atau benar, tetapi lebih kepada mendukung apa yang kita lakukan atau tidak. Mengubah makna sesuatu dan menjadikannya pemicu kita untuk melakukan sesuatu, itu yang saya maksud dengan melakukan perubahan dari dalam. Terkait dengan move on, lalu apa yang perlu diperbaiki di dalam diri kita? Jelas maknanya. Selama kita masih menganggap bahwa kita adalah korban, akan sulit bagi kita untuk melangkah maju. Saya juga mengalami masa-masa yang “rasanya” tidak enak.

Mencari kesibukan agar bisa melupakan. Berhasilkah? Berhasil..karena waktu kan berjalan terus. Waktu yang menggerus semua luka. Lama-lama juga perasaan sakit itu berkurang dan hilang. Titik dimana rasa sakit itu tidak membebani hati saya adalah titik yang sama dimana saya tidak melihat diri saya sebagai korban. Titik dimana saya mulai bisa mengambil hikmah dari keadaan yang menimpa saya. Butuh waktu berapa lama? Cukup lama, sampai saya bisa menerima bahwa sesuatu itu memang seharusnya terjadi untuk kebaikan saya. Saya seperti menyerahkan masalah itu pada “waktu”. Waktu yang menyembuhkan semua luka? Sekilas tampak benar, namun yang terjadi sesungguhnya tidak demikian. Penerimaan dan pemaafan yang terjadi di dalam diri yang membuat banyak hal bertransformasi. Tanpa kedua hal itu, waktu hanyalah waktu. Tidak peduli berapa lama kita menjalani hidup, luka batin itu akan tetap ada bila kita hanya berserah pada waktu.

Menerima adalah langkah dimana kita berhenti menyalahkan orang lain dan keadaan di luar diri kita, mencoba untuk menelusuri hikmah yang terkandung di dalamnya semampu hati kita. Di dalam penerimaan ada sebuah proses bahwa kita menyadari bahwa hal itulah yang seharusnya terjadi. Menerima juga berarti bahwa kejadian apapun adalah juga atas ijin dari Sang Pencipta, dan itu pastilah yang terbaik untuk kita. Dalam penerimaan, terjadi proses penyelarasan sudut pandang, penyesuaian makna, melepaskan diri dari persepsi “korban” secara perlahan-lahan. Penerimaan juga berarti kita berhenti untuk memohon agar waktu kembali dan kita bisa memperbaiki segala sesuatunya dari sana. Penerimaan juga adalah bagian dari latihan keikhlasan. Ikhlas itu bukan hanya tentang memberi loh, tetapi juga menerima. Ikhlas itu juga bukan melupakan. Kita bisa saja masih ingat kejadiannya, tapi sudah ikhlas, sudah memiliki makna baru yang lebih baik tentang kejadian tersebut.

Untuk semakin mempertegas sudut pandang baru ini, memaafkan adalah langkah yang selanjutnya. Memaafkan bukan berarti kita “membenarkan” orang yang menyakiti hati kita, membenarkan keadaan bahwa keadaan yang buruk seperti ini memang pantas didapatkan oleh orang-orang seperti kita.

Memaafkan itu lebih kepada “melepaskan”, “membebaskan”, “mempersilakan” rasa dendam keluar dari hati kita. Memaafkan itu efeknya lebih besar kepada diri kita daripada orang lain yang ingin kita maafkan. Kalau dendam sudah keluar, hati kita jadi ringan. Tapi, dalam memaafkan ini ada jebakannya. Apa itu? Kita sepertinya sudah memaafkan, tapi ketika kita bertemu dengan orang yang sama, keadaan yang sama, ada perasaan tidak enak yang sama! Itu berarti belum benar-benar memaafkan. Efek bahwa kita benar-benar memaafkan itu langsung terasa di hati. Hati kita yang lebih tahu apakah memang sudah memaafkan atau hanya sebatas ucapan di bibir saja. Memang ada yang bisa langsung, ada yang butuh proses, tidak apa-apa, disesuaikan saja dengan kesiapan hati kita masing-masing. Semakin cepat kita menyadari pentingnya 2 hal ini, semakin cepat kita move on.

Saya masih belajar untuk kedua hal ini. Kadang pula terjatuh kembali. Membagikannya dalam tulisan ini juga agar saya lebih bisa mengingat tentang 2 hal ini. Semakin dibagi, semakin diingat, semakin saya bisa cepat menyadari, cepat belajar, walaupun ada jatuhnya, ya belajar lagi.

Ini yang paling penting. Tulisan ini saya buat bukan semata-mata untuk mengajari teman-teman untuk bisa move on  dari keadaan yang dirasa berat, tapi lebih untuk saling mengingatkan satu sama lain, terutama untuk mengingatkan diri saya sendiri. Tulisan ini saya buat dan akan saya baca berulang-ulang agar saya semakin paham. Saya terapkan dalam kehidupan agar semua kata-kata, semua teori, meluruh dalam tindakan, menjadi kebiasaan, hingga membentuk karakter yang semakin baik setiap saat. Yang utama dalam menerapkan konsep ini adalah jangan terlalu memaksakan hati kita. Jangan paksakan hati untuk sepenuhnya menerima bila belum bisa sepenuhnya menerima. Begitu juga dengan memaafkan. Bila belum bisa, jujurlah belum bisa. Bila masih dirasa berat, katakanlah berat. Jangan memborbardir hati kita dengan afirmasi atau sugesti positif yang belum tentu “rasanya enak”. Bila kita melakukannya, kita akan dipertemukan dengan suatu keadaan saat hati kita jenuh dan merasa bahwa apa yang dilakukan selama ini tidak memberi manfaat apa-apa. Akhirnya, kita akan kembali kepada pola yang sama sebelum kita memutuskan untuk move on, atau bahkan bisa lebih buruk karena ada tambahan rasa lelah. Bila belum bisa menerima, katakan saja dengan jujur bahwa belum bisa, “Walaupun kejadian ini belum bisa saya terima seutuhnya, saya menerimanya. Walaupun saya belum bisa memaafkan orang/keadaan ini, saya memaafkannya. Saya mencintai diri saya apa adanya, baik kelebihan maupun kekurangannya. Terimakasih atas semua hal baik, hikmah, dan pembelajaran yang terkandung dalam kejadian ini.”

Kalimat-kalimat tersebut tidaklah baku, silakan disesuaikan dengan kalimat-kalimat yang dirasa nyaman diterima hati masing-masing. Semoga segala hal yang baik datang dari segala penjuru. Salam damai selalu