Pada zaman Megalitikum, zaman ketika manusia prasejarah mulai percaya adanya kekuatan-kekuatan supranatural di luar dirinya, melahirkan adanya keyakinan bahwa arwah leluhur yang telah meninggal dunia dapat berhubungan dengan manusia yang masih hidup. Keyakinan ini disebut animisme. Suatu kepercayaan bahwa benda-benda memiliki jiwa yang sama dengan manusia dinamakan dinamisme. Untuk mengekspresikan keyakinannya tersebut, manusia di zaman Megalitikum membuat bangunan-bangunan dari batu besar, meskipun cara dan hasil pekerjaan mereka masih dalam bentuk yang kasar dan sederhana. Kebanyakan bangunan yang mereka dirikan berlatar belakang pemujaan terhadap leluhur.
Mereka yakin adanya pengaruh yang ditimbulkan oleh nenek moyang mereka yang telah meninggal terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Selain itu, mereka juga berharap akan kesempurnaan leluhur mereka di alam arwah. Masyarakat pada zaman ini juga memuja binatang yang mereka anggap menakutkan, selain juga keyakinan yang kuat akan kekuatan alam yang begitu besar, misalnya gunung meletus, banjir, petir, bahkan beberapa binatang seperti buaya, tikus, dan kucing, mereka anggap sebagai binatang suci penjelmaan leluhur mereka.
Bangunan Megalitikum ini tersebar di berbagai kepulauan di Indonesia, baik Sumatera, Bali, Sumba, termasuk juga di Sumbawa. Bangunan peninggalan Megalitikum ini ditemukan di Punik wilayah Batu Dulang dalam bentuk menhir yang dikenal dengan Situs Batu Tata. Peninggalan berupa menhir yang lain berada di Situs Talebir wilayah Taliwang dalam posisi batu berjajar. Menhir merupakan bangunan yang dibuat dari batu besar menyerupai tugu yang berfungsi sebagai tanda peringatan adanya peristiwa pemujaan terhadap roh nenek moyang. Kadang-kadang menhir juga dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh leluhur.
Berdasarkan bentuk, panjag balok, dan letaknya, diperkirakan Situs Talebir ini dulunya merupakan suatu bangunan yang bertiang banyak, akan tetapi bangunan itu runtuh oleh suatu hal, sehingga balok-balok batu tersebut tersusun dengan posisi ujungnya menancap pada dinding bukit. Ada sementara dugaan bahwa balok-balok batu di Talebir merupakan proses alam akibat dari lahar purba yang telah berumur ribuan tahun. Bila dugaan ini benar, maka ada kemungkinan balok-balok batu Talebir memiliki kaitan erat dengan bentuk-bentuk batu nisan yang terdapat pada makam Masjid Jamiq Nurul Falah di Taliwang dan makam Sampar yang merupakan makam raja-raja Sumbawa di Sumbawa Barat.
Airenung sebelah barat daya Batu Tering selain pernah disinggahi oleh manusia purba zaman Palaeolitikum, juga meninggalkan jejak-jejak peradaban manusia di zaman Megalitikum dalam bentuk sarkofagus yang telah ada lebih dari 2000 tahun lalu. Sarkofagus atau keranda ini merupakan peti mayat yang terbuat dari batu tunggal, berbentuk seperti lesung yang pada umumnya lengkap dengan tutup di bagian atasnya. Sarkofagus ini diberi relief berupa gambar kelamin wanita sebagai lambang kesuburan, selain juga gambar manusia dalam berbagai gaya yang melambangkan adanya kekuatan untuk menghalau bencana, dan gambar lain berupa biawak untuk melukiskan adanya ikatan antara manusia dengan leluhur mereka.
Temuan lain berupa Situs Kubur Peti Batu di Tarakin dan Lutuk Batupeti yang terbuat dari papan-papan batu dan peti batu monolit. Motif yang tertera dalam kubur peti batu ini berupa gambar anjing yang diyakini mampu mengantar arwah dengan selamat sampai ke alamnya yang baru. Ada hiasan berupa gambar manusia dengan gaya kedua kaki dan tangannya membuka, dan ada pula yang bermotif wajah manusia dengan mata menonjol.
Peninggalan lain yang belum diteliti, tetapi dicurigai memiliki kaitan dengan peradaban manusia di masa lalu, berada di Batu Kuta sebelah timur Labangka, termasuk gua-gua sebagai tempat pemujaan, seperti Liang Dewa. Masyarakat di zaman Megalitikum ini menata ruang pemukiman mereka bukan didasarkan pada pertimbangan ekonomi praktis semata, melainkan lebih terfokus pada alasan sosial-religius, sehingga pemilihan tempat-tempat penguburan berada pada lokasi yang lebih tinggi daripada area pemukiman masyarakat. Hal ini sejalan dengan konsepsi keyakinan mereka bahwa daerah yang tinggi merupakan tempat bersemayamnya arwah leluhur.
Lebih lanjut, bangunan-bangunan yang berkaitan dengan kegiatan penguburan dan upacara-upacara pemujaan yang menyertainya ini dibuat dengan orientasi lubang mengarah ke timur-barat berdasar konsep adanya Dewa Matahari yang mereka puja dan yakini.
Manusia pada zaman Megalitikum menyandarkan hidup mereka dari beternak, menangkap ikan, dan bercocok tanam. Kepandaian yang dicapai pada zaman ini berupa kepandaian bercocok tanam padi di atas ladang yang dilakukan pertama kali di Pegunungan Assam Utara atau Bima Utara sekitar 500-200 SM, sedangkan di Indonesia, kepandaian menanam padi dikenal oleh penduduk Jawa sebelum mendapat pengaruh kebudayaan Hindu. Setelah masuk pengaruh peradaban Hindu-Buddha, maka membawa kepandaian baru berupa keterampilan menulis.
Dengan kepandaian menulis inilah, maka zaman prasejarah di Indonesia berakhir yang ditandai dengan ditemukannya prasasti Kutai di Kalimantan Timur pada abad ke-5 M. Sebagai bahan perbandingan, Bangsa Sumeria di muara Sungai Eufrat telah mampu menciptakan huruf paku sebanyak 350 sebagai lambang suara, sekitar 3000 tahun silam.
Sumber: Pilar-Pilar Budaya Sumbawa, Wahyu Sunan Kalimati