counter hit make

Mengungkap Manusia Pemula Penghuni Sumbawa: Zaman Kebudayaan Seran

Sekitar 1500-500 SM telah terjadi gelombang migrasi oleh ras Mongoloid atau bangsa Austronesia dari daratan Asia Tenggara. Sebagian dari mereka merupakan keturunan Homo Wajakensis yang menyebar ke barat dari dataran Sunda menuju dataran Asia melalui Sumatera, Semenanjung Melayu, Muang Thai Selatan sampai ke Vietnam Utara dan berasimilasi dengan ras Mongoloid. 

Pada mulanya imigran ini mendiami daerah Yunnan (Cina Selatan), kemudian melakukan perpindahan ke selatan menuju Vietnam dan melalui hilir sungai-sungai besar, terus ke Semenanjung Melayu untuk kemudian mendiami Sumatera, Jawa, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara, Flores, Sulawesi sampai ke Filipina. Masyarakat pada zaman Neolitikum ini telah mengalami loncatan peradaban dengan mengubah pola kehidupan nenek moyangnya yang bercirikan food gathering menjadi kebiasaan pola hidup food producing; dengan cara menetap dan menguasai beberapa peralatan kerja untuk bercocok tanam dan beternak. 

Pada zaman ini masyarakatnya telah mengenal pakaian yang terbuat dari kulit kayu dengan cara memukul-mukul kulit kayu tersebut hingga serat-seratnya saja yang tertinggal, selain juga telah mampu membuat benda-benda perhiasan berupa gelang, kalung, dan cincin dari batu warna. Peradaban yang lebih maju ini telah melahirkan kelompok masyarakat yang selain bercocok tanam, sebagian dari mereka ada yang memilih tinggal di pesisir pantai dengan menyandarkan hidup mereka dari perikanan dan pelayaran. Mereka juga telah menciptakan norma-norma untuk mengatur kehidupan bersama yang mencerminkan nilai-nilai kekeluargaan, musyawarah dalam mengambil keputusan, dan gotong-royong yang sekarang menjadi sendi-sendi dasar kehidupan asli bangsa Indonesia.

Zaman ini telah meninggalkan bukti benda bernilai arkeologis di Sumbawa berupa nakara, yaitu semacam gendang besar berbentuk seperti periuk yang ditelungkupkan serta berfungsi sebagai alat bunyi-bunyian untuk memanggil hujan atau digunakan dalam upacara keagamaan. Dalam nakara, sering diberi gambar berupa orang berpakaian dengan hiasan daun-daunan dan bulu-bulu yang kelihatan seperti orang sedang melakukan tarian upacara sambil memegang cenderasa atau pedang sakti, ada pula nakara yang bergambar perahu yang dari samping tampak seperti gambar bulan sabit dengan bentuk kepala burung pada bagian depannya dan ekor burung pada bagian belakangnya. Selain itu, ada juga nakara yang diketemukan di Pulau Sangiang, wilayah Bima, bergambar orang menunggang kuda beserta pengiringnya; keduanya memakai pakaian Tatar yang memberi petunjuk bahwa pada masa itu telah terjadi hubungan baik antara masyarakat Sumbawa dengan orang-orang Cina dan Vietnam. 

Nakara dengan tinggi 40,5 cm, garis tengah 51,5 cm dengan gambar berupa hiasan bintang ini telah ditemukan di kaki Bukit Makam Raja dari Kerajaan Tua Seran, yang dibawa oleh Bangsa Melayu Muda atau Deutro Melayu, keturunan Bangsa Austronesia yang ketika itu masuk ke wilayah Indonesia sekitar 500 SM. Deutro Melayu ini membawa kebudayaan asalnya dari daerah Dongson (Tonkin) di Vietnam Utara, sehingga lebih dikenal sebagai kebudayaan Dongson. Kedatangan Bangsa Melayu Muda ke wilayah Indonesia menyebabkan bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu yang lebih dahulu datang dan mendiami beberapa daerah di kepulauan Indonesia itu terdesak dan mereka pindah ke pedalaman, sebagian bercampur dengan Melayu Muda, sehingga sulit membedakan diantara mereka. 

Proto Melayu yang lebih dahulu datang telah menurunkan suku Dayak di Kalimantan, suku Toraja di Sulawesi, suku Batak di Sumatera, dan suku-suku di Papua, sedangkan keturunan dari Deutro Melayu yang merupakan pendatang berikutnya adalah suku Minangkabau di Sumatera, suku Jawa di Jawa, suku Bugis di Sulawesi, termasuk juga suku Sumbawa berdasarkan bukti peninggalan yang ada. Dengan demikian, Bangsa Austronesia dari daratan Asia atau Deutro Melayu yang telah berasimilasi dengan para pendatang yang telah lebih dahulu memasuki Pulau Sumbawa saat itulah yang menjadi cikal bakal suku Sumbawa asli, seperti halnya yang terjadi di beberapa pulau dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Mereka pada mulanya menggunakan bahasa yang sama, namun karena kehidupan mereka masih berpindah-pindah mengakibatkan terjadinya perbedaan kata-kata atau menemukan kata-kata baru sebagai reaksi dalam proses adaptasi dengan lingkungan geografis mereka yang baru.

 

Sumber: Pilar-Pilar Budaya Sumbawa, Wahyu Sunan Kalimati