counter hit make

Konflik Tanah Antara Perusahaan dan Rakyat Sembalun, AGRA NTB: Bupati Tak Tau Sejarah

Warta Mataram, Sembalun – Matahari belum meninggi ketika puluhan TNI dan aparat kepolisian berkumpul untuk melakukan penjagaan di pertemuan sosialisasi Bupati mengenai konflik antara PT. Sembalun Kusuma Emas dan rakyat Sembalun. Ratusan petani yang gelisah mengenai kejelasan tanahnya akan dirampas oleh perusahaan pun datang berbondong-bondong bersama istri dan anak-anaknya untuk menghadiri sosialisasi tersebut.

Dalam pertemuan tersebut, Bupati Lotim menyampaikan bahwas Pemda tidak memiliki kekuatan untuk menghalau perusahaan, karena dalam sejarah versi Bupati, perusahaan telah membeli tanah tersebut yang berstatus sebagai tanah Negara sejak sebelum Reformasi, sebelum HGU-nya disahkan oleh pemerintah. Sehingga Bupati mengklaim bahwa petani yang menggarap di atas tanah Dalam Petung selama 26 tahun, hanya berstatus sebagai penggarap yang meminjam tanah perusahaan.

Dari luas tanah 272 Ha yang menjadi lahan konflik, 150 Ha telah diterbitkan HGUnya oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), sehingga Bupati menjanjikan 120 Ha lahan sisa yang sudah digarap masyarakat, serta 30 Ha tanah TNGR akan diturunkan statusnya dari lahan konservasi menjadi lahan garapan, agar masyarakat yang berjumlah 929 KK akan direlokasi ke lahan seluas 150 Ha dengan pembagian masing-masing adalah 15 Are/KK.

Menanggapi pernyataan Bupati, Amak Reli selaku Ketua Wilayah AGRA NTB, membantah sejarah versi Bupati sebagai laporan sejarah yang tidak sesuai fakta, karena menurutnya, perusahaan mustahil melakukan transaksi jual beli di atas tanah negara, seumpama perusahaan sudah membeli tanah kenapa perusahaan masuk kembali dengan mengajukan izin HGU. Jika pun masyarakat dipindahkan ke lahan 120 Ha yang sudah digarap masyarakat, maka itu akan memicu konflik horizontal antara petani yang digusur dan petani yang sudah menggarap dari awal di atas tanah 120 Ha tersebut.

Para petani yang turut terlibat dalam sosialisasi tersebut membenarkan pernyataan Amak Reli, sehingga petani Sembalun tetap tegas menolak opsi dari pemerintah dan tetap memilih untuk bertahan di atas tanah tersebut. Kalaupun harus direlokasi, maka masyarakat mengajukan tuntutan ganti rugi yang adil: pemerintah dan perusahaan harus mengganti tanah, bangunan, dan hasil bumi masyarakat sesuai harga normal per penggarap. Selain itu, masyarakat harus direlokasi ke tanah di luar 120 Ha, untuk menghindari konflik horizontal antar penggarap.

Pertemuan ditutup tanpa melahirkan kesepakatan antara Bupati dan petani. Bahkan Bupati menutup sosialisasi tersebut dengan mengeluarkan ancaman: “penggarap yang tetap memperjuangkan tanah itu, akan dikejar oleh aparat.” (rnwm)