counter hit make

Dibangun Pada Akhir Abad 17M, Berikut Sejarah Pura Lingsar

Sasak Heritage – Di Desa Lingsar terdapat sebuah taman peninggalan sejarah dan purbakala yang cukup terkenal. Di dalamnya terdapat dua jenis sarana (tempat) kegiatan ritual keagamaan dari dua kelompok masyarakat dengan latar belakang sejarah dan suku yang berbeda. Diantara keduanya menamakan peninggalan bersejarah ini dengan sebutan yang berbeda menurut kepentingan masing-masing. Akan tetapi, dalam tulisan ini disebut Taman Lingsar.

Di dalam taman ini terdapat dua buah bangunan pura yang penting, yaitu Pura Ulon dan Pura Gaduh. Pura Ulon merupakan bangunan pertama di Lingsar, terletak di sebelah timur kompleks Taman Lingsar, sedangkan Pura Gaduh terletak di dalam kompleks taman, masyarakat umum mengenalnya dengan sebutan Pura Lingsar saja.

Kompleks bangunan ini dibedakan menjadi beberapa bagian atau kelompok bangunan, yaitu:

  1. Kompleks kolam kembar bagian paling depan,
  2. Halaman taman bagian atas di depan pura,
  3. Halaman bencingah bagian bawah depan kemaliq,
  4. Kelompok bangunan pura di depan pagar,
  5. Kelompok bangunan kemaliq dengan pesiraman di dalam pagar,
  6. Telaga ageng di sebelah selatan,
  7. Pancuran sembilan, yaitu tempat pemandian laki-laki.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa dalam kompleks taman ini terdapat Pura dan Kemaliq. Adapun fungsi masing-masing, antara lain:

  1. Pura merupakan tempat kegiatan ritual bagi pemeluk agama Hindu, pada umumnya bagi masyarakat Bali.
  2. Kemaliq merupakan tempat kegiatan ritual bagi warga masyarakat Wetu Telu, yang pada umumnya dari suku Sasak. Ajaran Wetu Telu pada dasarnya merupakan perpaduan antara agama Hindu (adwanta), agama Islam (sufisme), dan panteisme.

Kedua kompleks bangunan ini letaknya bersebelahan, menempati sisi timur kompleks taman. Antara keduanya dibatasi oleh pagar tembok. Pada tembok pembatas tersebut terdapat dua buah pintu penghubung. Secara visual tampak dari luar sebagai sebuah bangunan.

Dalam perkembangan selanjutnya, kemaliq tidak hanya digunakan sebagai tempat pemujaan bagi orang-orang suku Sasak saja, tetapi juga warga keturunan China (Tionghoa) yang berkunjung ke tempat tersebut. Mereka umumnya penganut ajaran-ajaran Buddha Kong Fu Tse. Dengan demikian, kelompok masyarakat yang melakukan pemujaan di tempat ini menjadi bertambah. Suatu bentuk kebhinekatunggalikaan yang sangat unik. Dilihat dari sisi kultur, Taman Lingsar memiliki keunikan tersendiri, sehingga keberadaannya menarik banyak pihak-pihak yang merasa berkepentingan, sehingga semakin banyak pula pihak yang menaruh perhatian. Sebagai sebuah objek peninggalan sejarah dan purbakala dengan ciri yang khas dan unik, Taman Lingsar ini berfungsi sebagai tempat ritual keagamaan, sarana rekreasi, dan fungsi sosial bagi masyarakat sekitarnya.

Ditinjau dari segi usia dan keberadaannya, pura di Taman Lingsar ini termasuk bangunan pura yang tertua di Pulau Lombok. Dibangun pada masa awal kedatangan orang Bali di Lombok dengan maksud untuk menetap, yaitu pada akhir abad ke 17 M. Latar belakang sejarah Taman Lingsar tidak dapat dipisahkan dari Taman Mayura, Pura Meru Cakranegara, Pura Suranadi, dan Taman Narmada. Di dalam sistem pemerintahan Bali pada waktu itu, raja memegang pemerintahan, pengadilan, dan agama. Ketika Belanda datang berkuasa, urusan pemerintahan dan pengadilan diambil alih, sedangkan urusan keagamaan tetap dipegang oleh raja, maka dua buah bangunan sarana kegiatan ritual keagamaan tersebut berada dalam satu kompleks. Dan kini, pengelolaan kompleks itu berada pada satu institusi, yaitu Krama Pura Lingsar.

Sekali setahun diadakan upacara bersama, yaitu Perang Topat. Pada hari yang sama, mereka mengadakan kegiatan ritual di tempat masing-masing (Pura dan Kemaliq) sesuai dengan cara masing-masing. Orang Sasak penganut ajaran Wetu Telu pada umumnya percaya bahwa di Lingsar itu Raden Mas Sumilir dari Kerajaan Medayin (dekat Bertais sekarang) sering mengunjungi tempat tersebut untuk meminta hujan. Lontar tentang silsilah raja tersebut dibaca setiap tanggal 12 Rabiul Awal tahun Hijriyah.

Perang Topat diselenggarakan pada bulan keenam menurut perhitungan kalender Bali atau bulan ketujuh menurut kalender Sasak. Biasanya pada bulan November/Desember. Pada umumnya upacara tersebut diadakan sebelum menanam padi, tetapi sudah masuk musim penghujan. Perang Topat dilaksanakan sebagai wujud kegembiraan dan rasa terimakasih kepada Yang Maha Kuasa dengan mengembalikan hasil tanam (berupa ketupat) ke asalnya (tanah di Lingsar). Biasanya ketupat tersebut dipercaya sebagai pupuk (sasak: bubus lowong) agar benih padi yang akan ditanam dapat berhasil dengan baik. Kegiatan upacara ini dihadiri oleh warga “Subak Ancar”.

Sumber: Gumi Sasak dalam Sejarah