Istana Tua Sumbawa dalam masyarakat Sumbawa lebih terkenal dengan sebutan Dalam Loka. “Dalam” adalah bahasa Samawa, artinya Istana, kompleks tempat tinggal Raja. “Loka” artinya tua. Dalam Loka artinya Istana Tua. Disebut Istana Tua dengan maksud untuk membedakannya dengan Istana Raja yang terbuat dari batu yang dibuat sekitar tahun 1932.
Istana Tua Sumbawa bukanlah satu-satunya bangunan Istana yang pernah didirikan di atas lokasi Istana tersebut. Sejak Mas Cini sampai Sultan Muhammad Jalaluddin III, telah dibangun beberapa Istana di atas lokasi Istana Tua silih berganti. Diantaranya, Istana Bala Balong, Istana Gunung Setia, Istana Bala Sawo, dan beberapa Istana lain lagi. Terakhir Istana Tua (Dalam Loka) Sumbawa yang sekarang. Istana-Istana yang tersebut di atas semuanya Rumah Panggung yang terbuat dari kayu.
Pembongkaran dan pembangunan Istana yang demikian terjadi karena kebakaran atau pergantian Raja. Seperti sewaktu hendak membangun Istana Tua yang sekarang ini, Istana peninggalan Sultan Amrullah dibongkar terlebih dahulu. Istana tersebut yang terbuat dari kayu dengan atap sirap jati dibongkar bukan karena rusak, tetapi karena desakan rakyat yang ingin melihat Istana Rajanya lebih megah dan besar yang membedakannya dari rumah-rumah lain.
Istana Tua Sumbawa dibangun pada tahun 1885 oleh rakyat secara gotong-royong yang diatur secara bergilir. Tukang-tukangnya didatangkan dari seluruh wilayah kerajaan. Sebagai pemimpin kerja ditunjuk Imam Haji Hasyim. Bahan-bahan bangunan diambil dari Hutan “Jati Timung”. Atapnya dari seng. Seng dan pakunya dibeli di Singapura yang diangkut dengan kapal layar kerajaan bernama “Mastera”.
Tiangnya sebanyak 99 buah terbuat dari balok kayu bulat yang besar dan berat. Tiang-tiang didirikan dengan mempergunakan derek (tokal) yang digantungkan pada kaki ayam yang dibuat dari tiga batang bambu, lalu ditarik dengan tali kawat yang bergulung pada sebuah roda. Karena besarnya Istana tersebut juga terkenal dengan sebutan Bala Rea, artinya rumah besar. Rea juga dapat berarti “Raja”, sehingga Bala Rea artinya Istana Raja.
Bala Rea terdiri dari beberapa ruangan dengan fungsinya masing-masing:
1. Ruang Depan yang disebut “Lunyuk Agung” atau “Paseban Agung” berfungsi sebagai Balairungsari, tempat musyawarah, upacara Kerajaan, dll. Di sampingnya terdapat “Lunyuk Mas”, tempat duduk permaisuri beserta para istri-istri pembesar.
2. Ruang dalam pada sebelah Barat terdapat bilik-bilik dengan urutan dari Selatan ke Utara:
a. Kamar shalat Raja (Repan Shalat)
b. Kamar peraduan Raja (Repan) yang hanya dibatasi oleh kelambu bersambung dengan ruangan sebelahnya tempat permaisuri menerima tamu. Pada malam hari menjadi ruangan tidur para dayang-dayang.
c. Dua kamar puteri beserta dayang-dayang dan inang pengasuhnya.
3. Ruangan dalam di sebelah Timur terdapat 4 bilik diperuntukkan bagi putera/puteri yang telah berumah tangga. Bilik terakhir (Utara) ditempati oleh pengasuh rumah tangga.
4. Ruangan besar diantara komplek bilik sebelah barat dengan komplek bilik sebelah Timur dijadikan tempat berkumpul para dayang-dayang dan tempat mengatur hidangan pada setiap upacara.
5. Ruangan belakang digandengkan dengan ruangan dapur.
6. Pada sebelah Barat, di luar rumah induk, memanjang mulai dari kamar peraduan Raja hingga ke kamar para puteri bergantung “Jembangan” tempat mandi Raja, Permaisuri, dan Puteri. Pada pinggir Barat “Jembangan” berhadapan ruangan tamu permaisuri terdapat “Bala Bulo” berbentuk rumah dua susun. Bagian bawah tempat para putera dan kawan-kawannya bermain-main. Sedangkan bagian atasnya tempat para puteri menonton bila ada tontonan di Lapangan Istana yang dipagari tembok setinggi 2,5 meter.
Menurut aslinya, di dalam lingkungan tembok Istana terdapat taman, rumah jam (bale jam), kandang kuda, dan kandang burung. Pintu gerbang istana jumlahnya dua buah. Sebuah di depan (Selatan) dan sebuah lagi di sebelah Timur (di samping kiri Istana).
Tembok Istana sejak awal sudah dibangun, tetapi telah berkali-kali runtuh dan dibangun kembali. Tembok yang terakhir dibangun oleh Nene Ranga Mele Unru pada tahun 1862 atas perintah Sultan Amrullah. Sejak pendudukan Jepang tembok tersebut sudah mulai tidak terpelihara.
Pada saat hendak memulai pemugaran pada tahun 1979, tembok itu sudah tidak ada bekasnya lagi. Kompleks Istana itu sendiri sudah tidak jelas lagi, selain di sekelilingnya telah dibangun jalan raya, sebagian sudah dikapling dan dibangun rumah-rumah pribadi. Tanah lokasi Istana yang masih tersisa seluas 8.239 meter persegi dengan bangunan seluas 904 meter persegi. Bangunan yang masih ada hanya Istana Tua yang sudah lapuk. Sejak Istana baru selesai dibangun pada tahun 1932, Istana Tua ditinggalkan Raja dalam keadaan yang kurang terpelihara.
Informasi ini dikeluarkan oleh Bidang Permuseuman Sejarah dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Propinsi NTB – 1988